Pages

Showing posts with label Thought. Show all posts
Showing posts with label Thought. Show all posts

Sunday, 14 April 2019

Filosofi Jalan

Berhubung saya melewatkan hampir dua tahun pegang kemudi motor di Surabaya, saya jadi semakin yakin bahwa hidup itu seperti jalanan, seperti ocehan saya dulu tentang filosofi jalan. Bukan cuma tentang ke mana tujuan kita dan jalan mana yang kita ambil, jalanan benar-benar seperti versi mini kehidupan!

Ada aturan-aturan rumit yang dipermudah tapi tetap saja dilanggar. Ada berbagai macam kendaraan yang bisa dipakai di jalan, ada banyak cara berpergian: entah itu sendirian atau berombongan, atau cukup berdua saja. Bahkan dalam mencapai tujuan pun, ada yang langsung terfokus, tapi nggak sedikit yang berhenti di beberapa tempat sebelum mencapai tujuan akhirnya.

Satu hal penting yang saya perhatikan, dan patut disyukuri, baik di jalanan maupun dalam hidup adalah: modal. Kalau dilihat di jalanan, modal ini bisa diartikan dengan apa jenis kendaraan yang kamu bawa? Dan seberapa dekat kamu dari tujuan kamu? Untuk mengartikan modal ini tidak linear sama sekali. Orang yang bermodal sepeda bisa jadi lebih menderita dibandingkan yang bermobil bila cuaca jadi variabelnya. Tapi yang bersepeda memiliki keuntungan mutlak yang tidak dipunyai yang bermobil: agility. Masalah jarak juga demikian. Katakanlah semua ada di rumah dan bertujuan ke sekolah. Yang berada lebih dekat bisa jadi punya kesempatan sampai duluan lebih banyak, tapi juga bisa jadi punya kesempatan telat lebih banyak karena meremehkan. Kesimpulannya, modal hanya modal. Perkara bagaimana digunakan untuk mencapai tujuan akan sangat bergantung pada bagaimana pengedaranya memanfaatkan.

Begitu juga dengan hidup. setiap orang punya modalnya sendiri. Kecerdasan, pendidikan, jaringan dan kesempatan, bahkan keberuntungan. Setiap orang punya takarannya masing-masing. Yang satu bisa jadi punya modal lebih banyak dibanding yang lain, tapi bukan berarti keuntungannya lebih banyak. Bagaimana memanfaatkan modal yang kita punya sebaik-baiknya untuk membantu kita mencapai tujuan adalah hal yang penting sekali. Mungkin inilah sebabnya orang-orang bilang bahwa pekerja keras akan selalu bisa mengalahkan orang cerdas. Terbukti sekali. Saya jadi buktinya dan pembuktiannya sakit sekali.

Hal lain yang menarik untuk diperhatikan di jalan adalah kecelakaan. Ngeri ya? Tapi terjadi. Dalam hidup juga begitu, kcelakaan terjadinya tidak pilih-pilih. Terduga? Mungkin. Bisa dihindari? Bisa jadi. Selagi mengamati kecelakaan di jalan, saya jadi menyimpulkan bahwa ada dua hal penting yang harus digunakan supaya kita selamat dari sebagia besar kecelakaan.

Yang pertama adalah mawas pada kondisi sekitar. Di jalan, kita bekendara tidak sendirian. Bisa jadi cara kita aman, tapi kecelakaan bisa terjadi karena kita tidak sadar orang lain sedang serampangan. Penting untuk selalu awas pada kondisi sekitar untuk bisa berkendara dengan selamat. Penting untuk punya indera keenam dan memprediksi ibu-ibu yang akan belok ke kiri meski lampu sen nya menyala ke kanan. Pun dalam hidup. Kita hidup tidak sendiri, maka penting untuk memantau orang-orang lain, dinamika-dinamika lain, supaya kita tahu ketika ada bahaya. Dan yang paling penting, supaya kita bisa membantu orang-orang yang sedang dalam bahaya juga. Contoh sederhana nih ya, penting punya insting dan informasi tentang uang panas di kantor supaya kita tidak kecipratan mudharatnya.

Faktor kedua supaya terhindar dari kecelakaan adalah, kontrol diri. Sudah tahu nih ibu-ibu di depan akan belok kiri tapi kalau kita tidak bisa mengontrol diri untuk rem dan menghindar ya buat apa. Sudah tahu nih bahaya karena lampu lalu lintas sudah kuning, tapi kita tidak bisa mengontrol diri untuk berhenti ya buat apa. Sama persis seperti dasar-dasar bertahan hidup, lihat situasinya, lalu bertindak sesuai dengan yang diperlukan. Dalam hidup, kontrol diri itu luar biasa pentingnya. Karena manusia lebih sering menuruti otak monyetnya kan? Untuk makan lebih banyak, untuk tidur lebih banyak, untuk menunda sehari lagi saja, untuk menyelipkan bon tiga puluh ribu saja, untuk pegangan tangan sekali saja, untuk membiarkan pikiran jahat menyelebung sekali lagi saja. Semuanya tentang kontrol diri. Dan yang lucu dari kontrol diri adalah, kita tidak pernah sadar kapan kehilangan kontrol. Karena itu, penting untuk terus evaluasi, untuk terus melihat lagi ke rambu-rambu yang telah dituliskan untuk kita, untuk membangun kemampuan berpikir cepat dan bertindak cepat.

Karena bukan cuma mengemudi yang butuh skill dan jam terbang, hidup juga.

Dan karena jalanan adalah cerminan hidup, kita selalu bisa melihat sisi terbaik dan terburuk seseorang lewat bagaimana dia menghadapi jalanan ;)

Wednesday, 10 August 2016

Review on Harry Potter and the Cursed Child

Sebagai seorang Potterhead selama bertahun-tahun, saya bisa bilang kalau saya adalah fans yang pilih jalur aman. Saya tidak baca buku-buku Rowling yang lain, saya tidak baca fanfiction, dan saya sama sekali tidak excited ketika berita tentang Cursed Child yang akan di teaterkan maupun Fantastic Beast yang akan difilmkan muncul. Buat saya, Hogwarts selamanya akan jadi fantasi terliar saya, tapi sudah cukup. Cukup ditutup dan disimpan sebagai bagian dari masa kecil yang menyenangkan.



Tapi, sebagai orang yang tumbuh bersama Harry Potter, saya tidak bisa tidak penasaran dengan isi ceritanya. Jadilah saya baca Special Rehearseal Edition Script Harry Potter and the Cursed Child Part I and II dan inilah pendapat saya,

Warning! Contain major spoiler. Do not read unless you have finished the Cursed Child book or if you want to know the story

Monday, 25 April 2016

Tentang Jalan dan Kehidupan

Sebenernya udah lama pingin tulis tentang ini. Sejak pulang ke rumah Januari lalu dan main ke rumah kakak yang sekarang tinggal dengan suaminya. Rumahnya agak jauh, di daerah Sidoarjo. Saya dan Ibu kesana berboncengan naik motor beberapa kali. Jalannya rumit, awalnya melewati jalan raya penuh truk berlalu lalang, terus masuk ke jalan sempit, lalu keluar ke jalan raya lagi, kemudian masuk ke perkampuangan untuk kembali ke jalan raya lagi.

Lalu, sembari menyetir motor dan membonceng ibu, saya berpikir,
Mungkin hidup itu sebenarnya seperti jalan. Ada jalan besar, ada yang kecil. Ada yang berpolusi, ada yang damai sekali. Kadang kita ketemu motor yang lebih bagus, mobil, atau truk besar. Tapi tidak jarang kita juga ketemu pejalan kaki atau motor yang lebih butut. Ada rambu-rambu di jalan, ada peraturan. Hidup juga begitu kan? Kita bertemu yang lebih superior, dan yang lebih inferior. Kadang hidup serasa sesak dan melelahkan, tapi juga menjadi menyenangkan dan indah. Ada rambu juga, ada norma, ada agama, ada stigma sosial.



Mengenai jalannya hidup, juga sama seperti jalan. Mungkin kita mulai dari jalan yang kecil, lalu keluar ke jalan besar. Mungkin kita mengambil jalan pintas untuk lebih cepat sampai ke jalan besar. Atau mungkin, justru jalan besar itulah jalan pintas menuju jalan yang lebih kecil. Mungkin kita akan lama berada di jalan besar, untuk kemudian berbelok ke jalan kecil, dan sebaliknya. Jalan manapun yang kita pilih, akan menjadi jelas kalau tujuannya jelas, akhir jalannya jelas. Apa kita akan berhenti di toko di pinggir jalan raya? atau makan bakso di dekat pematangan sawah? Semua tergantung tujuannya.

Tapi yang pasti, sama seperti hidup, segala perjalanan ini akan selalu berakhir di rumah.

Week 14: How Do You Love Yourself?

No matter how I look like from the outside, actually I am a person with timid and coward personality. Saya menakutkan banyak hal dan banyak keadaan, dan saya sering merasa tidak pantas berada di satu tempat. Dan dalam hal mencintai diri sendiri pun, saya merasa begitu--kenyataannya memang begitu.

Secara fisik, apa yang bisa dicintai dari saya? Gendut, hitam, pendek, berkacamata, dan berhidung bulat. Saya tidak bilang saya jelek, tapi buat saya, saya juga jauh dari kata cantik (secara fisik).
Dalam hal akhlak, apa yang bisa dicintai dari saya? Tak perlulah kita bicarakan agama, moral sosial yang saya miliki biasa saja. Saya berbohong, saya berprasangka, saya mengeluh.
Secara intelektual, apa yang bisa dicintai dari saya? Hampir tidak ada.

Bagaimana saya mencintai diri saya? Tapi sebelum itu, apakah saya mencintai diri saya?

Dengan segala kualifikasi diri yang biasa saja, ternyata, sama seperti semua orang, saya masih mencintai diri saya. Kenapa dan bagaimana? Mungkin, karena saya memeluk diri saya seutuhnya, apa adanya, tanpa mengingkari suatu apapun. Saya menerima diri saya yang gendut, hitam, pendek, tukang bohong, dan tukang mengeluh seutuhnya. Saya menerima keputusan-keputusan yang saya buat dan menjalaninya tanpa penyesalan. Saya memeluk semua segi diri saya dan bangga karenanya, hidup tanpa meninggalkan penyesalan.

Mungkin itulah cara saya mencintai diri sendiri. Dengan memeluk dan mengakui diri sendiri, menerima segala kekurangannya dan segala keputusannya. Karena kalau kita tidak menerima diri kita seutuhnya, kalau kita tidak mencintai diri kita sebisanya, siapa yang mau mencintai kita?

Kampus dan Menara Gading

Saya masih ingat, bulan Agustus tahun 2012, senior-senior memberi tahu saya bahwa mahasiswa memiliki tiga kewajiban yang dikenal sebagai Tri Dharma Perguruan Tinggi: Pendidikan, Penelitian, Pengembangan Masyarakat. Maksudnya? Sangat gamblang, artinya, sebagai mahasiswa, kami harus melalui proses pendidikan dan menjadi akademisi yang dapat mengangkat derajat dan martabat bangsa; kami harus melakukan penelitian sebagai upaya mengembangkan disiplin ilmu; kami harus melakukan pemberdayaan masyarakat melalui ilmu yang telah kami peroleh, aplikasi ilmu dalam kehidupan sosial.

Begitu apik, bagus, tertata, dan diterima oleh semua orang.
Begitu mulia tugas mahasiswa.

Saat ini, bulan April tahun 2016, hampir empat tahun semenjak saya mendengar tentang Tri Dharma Perguruan Tinggi, saya menyadari bahwa cita-cita dharma yang mulia itu tidak lebih hanya cita-cita lisan yang diulang terus menerus dari senior kepada juniornya, dari dosen kepada mahasiswanya. Kampus, tak lebih dari sekadar menara gading. Tinggi, agung, tapi jauh dan sendirian.

Thursday, 14 April 2016

Kenapa Kita (Saya) Bisa Segitunya Sama K-Pop?

Itu. Adalah. Pertanyaan. Yang. Menarik.

Kurang lebih sepuluh tahun saya mengenal K-Pop, dengan segala kegilaannya, dengan segala pasang surutnya. Saya termasuk orang-orang pertama yang merasakan patah hati ketika Hangeng keluar dari Suju, leleh karena gemesnya Yogeun dengan SHINee appa-nya, menyaksikan serunya saingan antara Suju, Bigbang, dan SS501, masih kenal dengan lagu-lagu Trax, nonton MV Timeless Zhang Li Yin yang fenomenal, dan mengikuti semua kegilaan 2PM dan 2AM dari awal debut. Sekarang, setelah saya menjadi mahasiswa ilmu komunikasi yang hampir lulus (dikompori oleh teman sekamar yang adalah mahasiswa hampir lulus psikologi),  selama empat tahun ini belajar mengenai media dan pelakunya, jadi merasa aneh: kenapa saya bisa segitunya sama K-Pop?

Untuk semua pecinta K-Pop yang sedang baca ini pasti merasakan, untuk yang belum, saya ceritakan sedikit apa makna dari segitunya dalam tulisan ini.

credit: allkpop meme, owner: on pict

Monday, 28 March 2016

Confucius said, the existence of human create the etiquette and ritual. But why do now the human is feeling oppressed by the etiquette? Then, when the human doesn't find any essence in doing the etiquette anymore, is it still called etiquette? Or, are we being inhumane?

Thursday, 10 December 2015

Akhir Tahun Terakhir

Selama kuliah, ini akhir tahunku yang keempat.

Dan selama empat tahun mengalami akhir tahun di kampus senja ini, ada yang khas dari cara FISIP menutup tahun.

FISIP selalu menutup tahun dengan semangat kompetisi. Kompetisi dimana-mana. Olim, OIM, Artwar, Gelmab, Limas (kompres), FPG (Olimfis), semua kompetisi. Mungkin karena itu, akhir tahun di FISIP selalu diwarnai dengan kebahagian kemenangan, haru perjuangan, dan optimisme kesempatan kedua. Karena baik kalah maupun menang dalam kompetisi apapun itu, yang dicari selalu adalah perbaikannya dan bagaimana menutup kompetisi di tahun depan dengan lebih baik lagi. Bagaimana menjadikan kompetisi di tahun depan lebih manis lagi. Karena sesungguhnya kompetisi adalah tentang perjuangan dan persaudaraan...

FISIP selalu menutup tahun dengan cerita. Semua orang menjadi jumawa dan menggembar-gemborkan apa saja yang sudah dilakukannya sebelum menutup tahun. Maka FISIP di akhir tahun selalu penuh dengan cerita-cerita kontribusi yang membuat iri siapapun yang mendengarnya dan membuat tinggi siapapun yang bercerita. Cerita-cerita ini seolah menjadi pembuktian, seolah diceritakan karena sang pencerita ingin mencari pembelaan dan pembenaran akan hal-hal lain yang lalai dilakukan. Menjadi ilusi kepuasan diri bahwa aku sudah melakukan banyak dan bermanfaat untuk orang lain. Ah, FISIP di akhir tahun memang penuh dengan hati yang bernanah.

FISIP selalu menutup akhir tahunnya dengan awal. Karena berakhir selalu berarti kembali ke awal. Maka akhir tahun adalah sarana menyiapkan awal tahun yang baik. Untuk segala-galanya. Pembicaraan tentang masa depan terdengar dimana-mana, entah apakah yang dibicarakan adalah masa depan penuh pikiran matang atau hanya tergesa menunjukkan kemampuan, tanpa sadar menjadi antitesis bagi tahun yang bahkan belum berakhir ini. FISIP di akhir tahun selalu penuh kecurigaan dan semangat tinggi untuk awal tahun. Bukan, bukan karena terburu ingin meninggalkan tahun ini, tapi karena cintanya pada FISIP untuk terus mengambil langkah baru.

FISIP di akhir tahun. Mungkin karena ini akan menjadi akhir tahun yang terakhir, rasanya berbeda buatku. Rasanya lebih meyentuh haru. Karena yang dikenang bukan hanya tahun ini, tapi juga tahun lalu, dua tahun lalu, tiga tahun lalu. Rasanya lebih haru karena akhir tahun ini akan menjadi yang terakhir. Terakhir dinikmati di depan panggung bersama sekumpulan orang irasional yang merelakan banyak waktunya. Terakhir dinikmati dengan berjalan-jalan malam di lorong-lorong kampus. Terakhir dinikmati dengan menantikan tegangnya kompetisi, atau curiga pada awal tahun nanti.

Menjadi sangat haru karena ternyata bila melihat ke belakang, jejak-jejak yang tertapak sudah sangat panjang. Melewati banyak haru gembira sedih murka yang lain. Melewati banyak wajah orang lain. Banyak kenangan lain. Akhir tahun ini menjadi berbeda karena mungkin, menjadi akhir yang manis. Yang meskipun dibawa dengan hati bernanah, tapi ternyata tak ada penyesalan tertinggal di dalamnya. Yang meskipun diiringi rasa curiga, terdapat kepercayaan di dalamnya. Yang meskipun di gemuruh oleh rasa sedih, ada janji bahwa akan ada orang-orang lain yang menjaga, dengan sama cintanya...

Tolong dijaga...
Dan buat tak ada yang pernah menyesal ketika akhir tahun selanjutnya datang
Dan tak ada yang mengutuk ketika awal tahun selanjutnya tiba
"If you want to know what a man's like,
take a good look at how he treats his inferiors,
not his equal"

-Sirius Black-


Pada tersenyum atau tidaknya seseorang pada pedagang tisu
Pada terucap atau tidaknya terima kasih pada supir bikun
Pada cara memilih jalan saat ibu-ibu penyapu tengah menyapu jalan
Pada sopan atau tidaknya pada yang lebih muda
Pada berteriak atau tidaknya pada bucil saat mau pesan teh tarik

How we treats them define our qualities

Saturday, 5 December 2015

(That Thing They Called) Manners

As I'm going older and older, I found myself critics easily about younger people. One thing I critics most is manners.

I don't know is it because I'm a javanese, or because my family hold manners value highly, or because everyone else doesn't think much about manners, but I do found it very hard to find people with manners here in the place I'm staying, nowadays.

To find people that says, "excuse me" before passing by
To find people that says, "What can I help with?" when seeing someone in a hard time
To find people that says, "I'm sorry I couldn't attend" when he can't
To find people that speak soft in front of elder
that smile alot for other people
and help alot
well behaved
manners

Is it a very difficult request? Or is it actually a quest?

Saturday, 7 November 2015

Detective Stories

I really love detective stories. And I don't know why. It is just so enjoyable to read (or watch) mysteries cases, murder event, and to deduct the culprit behind it. Regrettably, I am a part of the mainstream reader (and watcher) so I don't read (or watch) varies thing.

I found reading mysteries fun probably in my first grade of elementary. My cousin has that Detective conan book in his home and I read it because I don't have anything to read that time (I like reading so much since the beginning of my ability to read. And I love book ever since before I can read. And I swallow everything from novel and comic books to science and critical reading). So there, I read it and I got addictive.

The First Series that I read, Though before, it still has a white edge in the cover and the title still called "Detective Conan"


In elementary, I found many of my friends like read too, so we often share what have we read and exchange book. At the end of 5th grade in elementary, I've read all the Detective Conan books and I want to have more stories. So, I was introduced into Q Detective School. It was a short but meaningful story. Even now I have the scanned version of that comic. And I like it so much.

In middle school, I found another detective stories while I was bored and stay in the library all day long. I found the complete series of Sherlock Holmes. Of course I know Sherlock from Conan series, so I tried to read that, even though all of the books was in english. So I read it all, from the Study in Scarlet until The Return of Sherlock from the Reichenbach Falls.

And so on, by the times, I read and watch many things, The Five (a book by Enid Blyton), Sherlock (BBC Series), Magic Kaito (a Manga by Aoyama Gosho), Detective Kindaichi (a manga illustrated by Fumiya Sato), Dr Frost (a manhwa by jung jaebum), and many more novel that I cannot remember the title anymore. I really like Dan Brown's books too. Lately I watch Crime Scene too (a Korean Variety Show). I love that thing, I love detective stories. So much.

Wednesday, 4 November 2015

(That Thing They Called) Affection

Belakangan ini lagi sering banget denger kata afeksi. Protes-protes terkait kurang afeksi pada kami, pada mereka, pada aku, dan kamu. Keinginan-keinginan untuk mencurahkan afeksi pada orang-orang tertentu, pada benda tertentu pada sekelompok orang tertentu.

Ada ekspektasi-ekspektasi akan afeksi. Ada tuntutan sejumlah besar afeksi.

Tapi, ketika kita memberikan afeksi kita karena tuntutan (pada akhirnya), masihkah itu kita sebut sebagai afeksi? Atau sebenarnya itu hanyalah kepura-puraan yang kita bungkus senyum palsu dan kita namakan kasih sayang?

Buatku, afeksi adalah ketika aku benar menyayangi dia. Ingin tersenyum padanya dan memberitahunya bahwa semua baik saja. Buatku, afeksi adalah ketika aku memang ingin memberikan suhu hangatku padanya ketika ia membutuhkan seorang untuk menemaniya berduka. Buatku afeksi adalah ketika dia belari memelukku dan aku menyambutnya dengan tangan dan hati yang terbuka lebar. Tanpa paksa, karena aku ingin.

Afeksi adalah ketika aku memberikannya tanpa embel apapun. Tanpa teringat ata apapun. Dan ketika aku memberikannya atas nama afeksi, maka masihkah itu bernama afeksi?

Saturday, 24 October 2015

(That Thing They Called) Friendship



I often watch dramas or films that shows years friendships. Decades of friendships. And now I came to the time where I challenged that. Next year will be the first year of me not going to school (or college), which is a source of friends. Starting next year, I don’t know if I have a friend stay by my side and hear me every day. Starting next year.

But more importantly, do people need friends?

Twenty past year I believe that friendship is something I should treasure more than anything. I have to make a good friends, have some best friends, help them when I could, and asking for help when I need. But people change, people become mature. In that thing we called matureness, we thought we were became considerate. We were afraid to tell others our problem, because we were scared to add more burden to their life. That thing called matureness is none other than our selfish side to be recognized as a considerate person. 

I still believe that friendship is something I has to treasure.

But what to do? Me too, change. Me too, become more mature. Me too, become afraid to tell others my stories. Don’t know who to tell or what should I tell. In the name of being considerate, in the name of becoming adults, slowly, I lost my boldness to share a little bit of my life to my friends and stupidly wants to bear everything all alone, trying to act tough. 

In the name of time, maybe I would lost my friends someday. Not because they left, but because I don’t dare to disturb them. Stupidly.

Sunday, 16 August 2015

Tentang Puisi

"Kalo Kak Bes bikin puisi pasti bagus deh"
"Kok gitu?"
"Soalnya bahasa yang dipake di tulisannya gitu"

Yes. I like poetry. So much. I've write and read so much poetry since elementary school. I'm not saying that I'm a poet. I'm just saying that I like ones. I don't have any formal knowledge about poetry. I don't know which year produce what poetry or who is the great poet of each era. I don't know such thing. So don't ask me that kind of question after you read this.

The fact is, I write poetry as an expression of my overflown emotion that has to be transferred somewhere. Anger, disgust, joy, sorrow, even yearn, all of that emotion could easily written all over the blank paper as a poetry. No genre. No theme. Just a poetry.

And I read a poetry just like that. I read it everywhere. I don't fancy certain people or certain era, just read a poetry. I just read it because I think I could feel the emotion. I don't need to verify the meaning behind it, nor even care if the poet has meaning. Just want to read it and interpret it as I like.

I write a poetry for me
I read ones for me
And I like it
And I decide to share what I like to you