Pages

Thursday 22 November 2012

Hilang, Temu

Kemarin, hari Rabu.. Hanya ada satu mata kuliah, meskipun tiga SKS. Pukul 10.45 aku sudah bebas dari penatnya belajar di dalam kelas. Aku berjanji untuk bertemu dengan teman. Sambil menunggu, aku makan di kantin Fakultas sebelah. Ku keluarkan selembar uang biru dari dalam dompetku. Dompet pertamaku. Dompet yang dipilih dan dibelikan ayahku. Ternyata selembar uang biru ku itu ditolak oleh ibu kantin, maka kuganti dengan uang yang lain, sementara uang biru ku itu kumasukkan kedalam kantong kecil di sebelah kanan tas hitamku.

Selesai makan, aku menuju Miriam Budiarjo Resource Center (mbrc), tempat ini adalah perpustakaan fakultas ku. Tempat yang nyaman. Begitu masuk, aku naik ke lantai dua. Ku letakkan tas ku di tempat penitipan. Ku bawa ponsel, serta buku tipis yang harus selesai kubaca dua hari sebelumnya, seharusnya. Aku menuju salah satu bilik dan mulai membaca.

Satu jam..
Dua jam..

Temanku mengatakan dia ingin bertemu. Aku turun, menuju musholla, meninggalkan tas hitamku di lantai dua mbrc. Aku bertemu ketua angkatanku, menuju gedung komunikasi, kembali ke mbrc lantai dua, menemui teman, turun kembali ke bawah untuk shalat, dan ke kantin fakultas. Di kantin fakultas, kami makan. Aku hanya membawa selembar uang biruku. yang akhirnya berubah menjadi beberapa lembar warna-warni. Selesai makan dan shalat, kami kembali ke mbrc lantai dua. Ku letakkan lembaran-lembaran uangku di dalam kantong sebelah kanan tas hitamku. Kutinggalkan, dan aku kembali menuju bilik yang sama.

Satu jam..
Dua jam..

Urusan kami selesai. Aku mengambil tas dan membuka kantong kecil sebelah kanan, hendak mengambil lembaran-lembaranku. Tunggu. Kutaruh disini bukan? Kucari di kantong lain. Tidak ada. Kucari di dalam dompet. Tunggu. Mana dompetku? Dompet pertamaku itu, dimana? Tunggu. Dimana? Ku keluarkan seluruh isi tasku. Namun aku tak bisa menemukan lembaran-lembaranku. Tak juga dompet pertamaku. Dompet dengan KTP di dalamnya, dengan SIM yang kudapat dengan susah payah disana, dengan KTM kuning disana. Dan yang paling krusial, dengan kartu ATM ku disana.

Tenang.
Aku tidak panik.

Kucari kembali perlahan. Ku periksa tempat sampah di dekat sana. Tidak ada. Ku minta ibu untuk menelepon ku. Ku beritakan padanya bahwa dompet pertamaku hilang. Entah siapa yang membawa. Masya Allah.. Beban mental itu.. Lebih berat. Dibandingkan menyadari bahwa dompet dengan segala kartu dan dokumen itu hilang, mengucapkan "Dompetku hilang" kepada ibunda, terasa 12 kali lebih berat. Berat sekali.

Seorang kakak menunjukkan keprihatinan dengan wajahnya. Seolah berpikir mencari solusi apa yang bisa ia lakukan untukku.
Seorang kakak mengantarku dengan motornya, meski tak sampai di tujuan, namun dengan kehangatan hatinya untuk peduli, dibawah selimut jas hujan dan di tengah dinginnya kota Depok. Dengan berbagai kata dan ceritanya yang menenangkan hati.
Seorang teman menjaminku bahwa aku akan baik-baik saja, bahwa segalanya bisa diusahakan dan semua akan kembali normal.

Aku kehilangan dompetku. Dompet pertamaku, yang dipilih dan dibeli oleh ayahku. Dompet dengan segala kartu dan dokumen penting di dalamnya.

Tapi aku menemukan, bahwa masih ada yang peduli. Masih ada yang mau memberikan kehangatan hatinya untuk peduli.

Thursday 1 November 2012

Aksi (?)

Aksi
Aksi
Aksi

Tiga bulan di kampus rakyat ini, aku sering mendengar kata itu. Kata yang digunakan dibelakang kata "seruan" dan biasa dirangkai dengan frasa "kenakan jakunmu!" Aksi. Sebetulnya beberapa bulan ini aku sering bertanya. Entah pada siapa. Mungkin aku juga sedang memecahkan teka-teki malamku sendiri. Sebenarnya apa aksi itu? Pada hakikatnya, secara harfiahnya, apa aksi itu? Benarkah selama ini bila kata itu digunakan untuk suatu seruan? Dengan dalih membela rakyat atau memperjuangkan aspirasi? Ah, tidakkah kata itu hanya digunakan untuk memperhalus kata "Demonstrasi"? Sama halnya frasa "masa aksi" digunakan untuk memperhalus "demonstran"? Benarkah begitu? Atau logika ku yang salah? Ah, aku tidak tahu. Aku masih mencari dimana ujung selubungnya, untuk kusibak pada akhirnya.

Bukan, bukan berarti aku sentimen terhadap aksi. Aku pernah melakukannya. Aku turun ke jalan dan melakukan aksi. Lebih dari sekali malah. Tapi entahlah, tiba-tiba muncul banyak pertanyaan belakangan ini. banyaaaak sekali.

Benarkah yg ku lakukan ini?
Apakah ini langkah yang paling tepat?
Sebenarnya apa yang ku perjuangkan?
Apakah sesungguhnya aku hanya batang kayu yang mengikuti arus deras?
Yang melakukan aksi hanya karena itu terlihat keren?
Atau aku memang tahu apa yang kulakukan?
Lanas apa sebenarnya aksi itu?

Jangan salah, sekali lagi jangan salah. Aku adalah orang yang dinamis. Aku akan terus bergerak. Dan bergerak memerjuangkan keadilan. Tapi aku tak tahu, kawan. Sungguh, aku sedang berada dalam kebingungan dan kegalauan yang luar biasa hanya karena satu kata yang entah mengapa menggetarkan hatiku itu: aksi.

Aku menemukan nyawaku disana, tak bisa dipungkiri itu. Tapi aku tak tahu apa yang kulakukan ini benar. Entahlah, mungkin aku terpengaruh pemikiran seorang aktivis yang abadi dalam buku hariannya. Tapi bagiku ini layak dipertanyakan.

Apa hakikat aksi ini? Hanya sebatas redaksi kah? Atau..... Ah, entahlah. Aku pribadi menganggap aksi adalah perbuatan kita. Segala sesuatu yang kuperbuat. Segalanya. Tidak terbatas pada demonstrasi dan turun ke jalan saja.

Entahlah. Entahlah. Entah. Aku tak tahu.

Tapi aku masih mau tahu.