Saya masih ingat, bulan Agustus tahun 2012, senior-senior memberi tahu saya bahwa mahasiswa memiliki tiga kewajiban yang dikenal sebagai Tri Dharma Perguruan Tinggi: Pendidikan, Penelitian, Pengembangan Masyarakat. Maksudnya? Sangat gamblang, artinya, sebagai mahasiswa, kami harus melalui proses pendidikan dan menjadi akademisi yang dapat mengangkat derajat dan martabat bangsa; kami harus melakukan penelitian sebagai upaya mengembangkan disiplin ilmu; kami harus melakukan pemberdayaan masyarakat melalui ilmu yang telah kami peroleh, aplikasi ilmu dalam kehidupan sosial.
Begitu apik, bagus, tertata, dan diterima oleh semua orang.
Begitu mulia tugas mahasiswa.
Saat ini, bulan April tahun 2016, hampir empat tahun semenjak saya mendengar tentang Tri Dharma Perguruan Tinggi, saya menyadari bahwa cita-cita dharma yang mulia itu tidak lebih hanya cita-cita lisan yang diulang terus menerus dari senior kepada juniornya, dari dosen kepada mahasiswanya. Kampus, tak lebih dari sekadar menara gading. Tinggi, agung, tapi jauh dan sendirian.
Kampus seharusnya menjadi laboratorium. Tempat banyak hal dipertanyakan dan dicari kebenarannya. Untuk keperluan siapa? masyarakat. Hampir empat tahun saya (belajar) menjadi mahasiswa. Selama saya kuliah, mendapatkan teori ini itu, disodori fakta ini itu, diberitahu rahasia ini itu, saya menjadi kaya. Apa yang saya terima sungguh berlimpah ruah dan menggelegak dalam diri saya. Begitu pula dalam diri teman-teman saya, saya kira. Group chat yang saya miliki bersama teman-teman tidak pernah sepi membahas banyak hal. Hal-hal sepele yang kami seret ke dalam ranah pengetahuan kami. Diskusi mengenai sejarah dan kebenarannya, langkah-langkah politik pemerintah, permainan kotor media, dan sebagainya dan sebagainya. Tapi ya itu, kami berdiskusi di dalam group chat kami saja.
"Ah nggak, kata siapa, kita juga bikin acara diskusi kok"
"Kita juga ngelakuin sesuatu kok untuk advokasi ini itu"
Tentang diskusi, diskusi-diskusi, seminar, dan workshop yang sering dibuat oleh kampus, siapa sih yang dapat manfaatnya? Yang datang akademisi. Yang menyajikan materi akademisi. Yang bertanya akademisi. yang menjawab pun akademisi. Bahkan, yang membantu membagikan konsumsi adalah akademisi. Lantas bagaimana ilmu-ilmu super kaya ini bisa keluar kalau yang boleh mengaksesnya hanya akademisi?
"Kan kami sudah mengundang terbuka untuk datang ke seminar"
Helloooooo~ kamu kira ibu-ibu kasir di indomaret akan datang dengan sukarela kalau kita bilang ada seminar pendidikan, melihat relasi kekuasaan dengan bahasa melalui perspektif kritis?
Ada banyak informasi yang kita dapatkan di bangku kuliah. Informasi mengenai mengapa bangsa ini seperti ini. Dan lebih baik lagi, apa yang bisa dilakukan agar bangsa ini lebih baik lagi. Tapi bila kampus hanya menjadi menara gading yang asik sendiri, dengan segala keagungan dan kemuliaan yang didapat oleh bahasa-bahasa akademisi yang sulit dan tinggi, siapa yang akan menengok informasi ini?
Informasi-informasi yang kita dapatkan di bangku kuliah adalah informasi mentah. Harus diolah. Dan diberikan pada masyarakat dengan bungkus yang bisa diterima. Alih-alih menjelaskan mengenai bahaya imitasi kekerasan pada televisi kita harusnya bisa menjelaskan bahwa itu lo yang berantem-berantem itu nanti ditiru sama anak ibu, nggak sekarang, tapi nanti bu. Dan itulah, seharusnya, yang menjadi tugas mahasiswa, tugas akademisi, tugas kampus. Kita adalah agen-agen dapur. Mengolah bahan mentah informasi menjadi masakan lezat yang bisa dimakan semua orang. Apa artinya kita meributkan literasi media adalah hal penting kalau kita sendiri tidak mulai menyebarkannya dengan sederhana pada masyarakat toh?
Saya tidak bilang masyarakat itu golongan kedua yang lebih bodoh dibanding akademisi. Akademisi pun adalah bagian dari masyarakat. Dan dengan spesialisasi ilmu yang kita pelajari, alangkah menyenangkannya dunia kalau ilmu ini saling dibagi, dengan bahasa yang saling bisa diterima.
Saya menulis begini bukan berarti saya sudah menjadi yang paling getol menyampaikan materi kuliah dengan bahasa mudah. Justru, saya sedang belajar. Dan mengajak anda belajar bersama saya. Karena saya menyukai status saya sebagai mahasiswa. Saya menyukai keberadaan saya dalam masyarakat. Dan saya menyesal saya belum banyak memberikan pengabdian kepada masyarakat.
No comments:
Post a Comment