Pages

Sunday 1 September 2019

Life: Episode Menunggu

Saya punya kerjaan baru. Beneran gawe, bukan kerjaan yang dibuat-buat. Jadinya sebulanan ini saya suka recokin sahabat-sahabat saya tentang kehidupan baru saya. Terus ada yang bilang kenapa ngga bikin blog aja, Bes, tentang ini? Jadi saya memutuskan akan numpahin di sini saja cerita lucu sehari-hari saya.

Mungkin harus diawali dengan gimana ceritanya saya bisa dapet kerjaan ini kali ya.

Sebelum ini, saya kerja di sebuah lembaga non-profit di Surabaya. Lembaganya berupa komunitas untuk keluarga Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) alias special needs. Awalnya kerja ngurusin media, karena saya memang lulusan komunikasi. Tapi terus saya diminta ngurusin program juga. Jadilah saya jatuh cinta sama bocah-bocah special needs ini. Menurut saya kerja untuk ABK adalah kerjaan yang sangat meaningful dan fulfilling. Dan saya merasa berada di tempat saya, seakan-akan memang dari awal ini yang harusnya jadi bagian dari hidup saya. Tapi sayangnya, hal-hal terjadi yang membuat saya resign awal November tahun lalu. 

Saya dan ABK binaan di non-profit


Nah, sahabat-sahabat saya tahu kalau saya sukaa sekali ngurusin ABK. Jadi saya dikasihlah info lowongan pekerjaan yang masih merepet-merepet ke sana. Salah satunya adalah lowongan jadi guru special needs di sebuah sekolah swasta di Jakarta. Saya mikir lumayan lama sewaktu saya dapat info. Saya ngga punya latar belakang pendidikan yang sesuai (mereka minta lulusan psikologi atau Pendidikan Luar Biasa), saya ngga punya pengalaman mengajar juga. Tapi saya putuskan kepalang nekat saja. Jadilah saya masukkan lamaran saya lewat email. Saya nulis panjang lebar luas di cover letter saya tentang gimana saya selalu suka ngajar. Dan gimana saya telat nemuin passion saya. Dan sesuka apa saya sama ABK sampai kenapa saya mau kerja untuk mereka. 

Tapi dasar bocah, setelah email saya kirim, saya baru sadar kalau di email itu saya ngga nulis kalau saya pernah nanganin ABK, ha! Alhasil saya kirim lagi email baru dengan cover letter baru yang ngejelasin bahwa saya pernah kerja untuk ABK dan jenis gangguan apa saja yang pernah saya temui. Sungguhan, malu maksimal kala itu. Saya bener-bener ngerasa nggak ada harapan. Nggak berharap akan dihubungi balik karena kebodohan saya itu.

Nggak boleh emang menghitung anak ayam sebelum mereka netas.

Saya dipanggil buat wawancara. Sekitar akhir Februari jadwalnya. Saya super senang dong. Selain karena itu adalah panggilan wawancara pertama saya setelah nganggur kurang lebih tiga bulan. Rasanya seolah ada harapan? Hahaha so dramatis. Waktu itu saya berangkat ke Jakarta dengan bahagia. Sungguhan bahagia, meski cuma untuk interview. Saya bilang ke diri sendiri supaya jangan besar kepala dan harus jaga ekspektasi. Dijalani dengan santai aja dan harus terima kalau nggak diterima.

Waktu itu group interview. Dalam grup saya ada empat orang interviewee. Tiga orang selain saya semuanya lulusan psikologi UI. Hahaha saya jiper parah. Apalagi salah satu udah jadi shadow teacher juga. Beneran ngerasa salah tempat. Tapi interview-nya berjalan lancar buat saya. Saya berusaha ngejawab semua pertanyaan sejujur-jujurnya, tanpa pemanis apapun. Sebisa mungkin, saya juga tunjukkan semangat belajar saya (because honestly, at that point, my will to learn is the only appeal I have). Dan saya super senang karena ibu-ibu interviewer juga cerita pahit-pahitnya jadi guru. Apa yang harus diekspektasikan (murid yang sulit misalnya) dan apa yang jangan diekspektasikan (gaji tinggi, misalnya). Dari obrolan singkat itu (well, it does feel like a talk rather than an interview) saya belajar super banyak. Dan saya ngerasa bahwa sekolah ini punya value yang sejalan sama prinsip saya. Saya senang dikasih kesempatan ngobrol, dan saya agak sedih karena ngerasa mungkin itu terakhir kalinya saya akan ngobrol dengan para ibu itu, jadi saya berusaha menyerap banyak ilmu.



Seminggu, dua minggu setelah interview, saya belum dihubungi. Jujur saya cemas karena buat saya kabar, buruk sekalipun, sejuta kali lebih baik dari tidak ada kabar. Minggu ketiga setelah saya udah pasrah, saya dapat undangan untuk melakukan demo teaching. Rasanya? Ecstatic! Beyond happy. Soalnya saya akhirnya bisa ngelihat sendiri value sekolah ini at practice. In their everyday live. Langsung. Otomatis saya siapkan demo teaching ini sebaik-baik yang saya bisa. Saya luangkan seminggu di Jakarta. Dua hari untuk observasi sebelum demo, dan hari-H demonya. Super gugup, tapi menanti-nanti juga.

Sebelum saya berangkat, saya sudah dikasih list, saya akan demo teaching di mana, ngajar apa, dan siapa aja nama muridnya.

Sekolah ini sekolah inklusi dengan kelas reguler untuk early education, primary, middle school, dan high school. Tapi juga punya departemen special needs. Departemen ini punya empat unit: dua untuk usia SD dan dua untuk usia SMP-SMA. Di setiap jenjang usia dibedakan lagi unit untuk anak yang High Function dan High Support. Dari empat unit ini, saya diminta demo di tiga unit. Belakangan aja saya baru tau kalau nggak semua kandidat diminta demo di lebih dari satu unit. Mungkin mereka lihat potensi saya di tiga unit. Atau mungkin mereka lihat saya nggak punya potensi menonjol makanya dicobain di tiga unit HAHA. 

Demo teaching ini cerita seru lagi. Meski saya udah dua hari observasi, saya tetap kalang kabut waktu hari-H demonya. Terutama di salah satu unit yang saya diminta untuk dongeng. Pingin nangis rasanya hahaha. Di unit lain saya ngajar IPA dan beneran harus kreatif mengubah objektif pelajaran. Di unit terakhir, saya ngajar bahasa inggris. Jauh lebih lancar meski tetap kalang kabut karena kondisi kognisi muridnya beda satu sama lain, jadi kecepatan mengerjakannya juga beda. Waktu demo ini ibu-ibu yang punya departemen special needs tahu kalau saya dari Surabaya dan ke Jakarta cuma untuk ini. 

Sebulan lagi berlalu. Saya ditelpon Ibu Kepala Departemen, beliau bilang kalau beliau sebenernya suka sama saya. Tapi ternyata jumlah murid belum memerlukan guru baru (karena ada murid yang keluar), jadi saya diminta menunggu sampai murid baru kembalikan formulir daftar ulang. Kejadian ini sekitar bulan April. Kalau dipikir sekarang, saya berterima kasih sekali dikabari, nggak digantung tanpa hasil.

Akhirnya saya menunggu..

Sambil tunggu, saya cari-cari lowongan lain. Tapi waktu itu, saya sudah masuk terlalu dalam. Hahaha. Saya sudah ketemu anak-anaknya, saya sudah tahu sedikit budayanya, saya ngobrol sama guru-gurunya.. Dan buat saya, semuanya seakan memang bagian dari saya. Begitupun sebaliknya. Meski saya apply ke tempat lain, setiap saya kirim email, hati saya selalu bilang tapi saya mau ngajar di tempat yang itu. Meski saya berusaha legowo dan merelakan, menganggap muridnya memang nggak butuh guru baru, saya tetap nggak rela.

Dan terjadilah.

Berkah ramadhan memang. Awal bulan Mei. Saya ditelpon lagi, dikabari bahwa saya diterima. Bahwa muridnya bertambah dan mereka butuh guru baru. Bahwa mereka butuh saya. Bahwa saya sekali lagi akan terbang ke Jakarta untuk bertemu anak-anak yang sudah nempel di hati saya sejak hari pertama saya lihat mereka.

Keluarga baru saya!

Super nggak mudah, sungguhan. Menunggu. Banyak galaunya. Banyak sedihnya. Sejak bulan februari saya kirim email itu, sampai akhirnya mei saya diberi job offer. Dan juli ketika saya beneran mulai masuk. Selama delapan bulan menganggur, hampir enam bulan saya habiskan untuk menunggu. Tapi ujung penantiannya beneran membuat bahagia. Saya bisa bilang kalau satu setengah bulan saya di sini adalah salah satu masa-masa paling bahagia saya. 

Jadi untuk yang sedang menunggu, atau yang belum tahu harus melakukan apa dengan hidup, atau yang merasa nggak berharga untuk dapat sesuatu, percayalah kalau pada waktunya semua akan baik-baik saja. Mungkin bukan baik seperti yang kita bayangkan, tapi toh tetap baik. Jadi jangan terlalu keras sama diri sendiri. Puk puk diri sendiri itu penting. Berprasangka baik terhadap hidup itu penting. 



Dan yang paling penting, setiap orang punya garis waktunya masing-masing! Selamat menunggu :)