Pages

Wednesday, 19 December 2012

To You

Nggak kerasa ya, sudah Ujian Akhir Semester aja tiba-tiba. Berarti secara akademis, sudah satu semester disini. Jadi orang Depok. Jadi mahasiswa. Sudah satu semester, tapi grup whatsApp nya masih ramai sekali. Sudah satu semester tapi masih suka bercanda. Masih sering cerita. Tempat itu masih jadi tempat sampah cerita kehidupan. Sudah satu semester tapi entah kenapa still dare to care. Masih mengikuti perubahan yang terjadi. Turut mencari solusi.

Baru satu semester disini. Tapi sudah rindu. Rindu berat. Membuncah ke kepala, ke ubun-ubun, hingga terkadang membawa memori ini kembali kepada kenangan-kenangan. Memutarnya layaknya film indah yang akhirnya selalu bahagia. Meski kita belum sampai pada akhirnya. Rindu sekali, mengalir ke seluruh tubuh, memaksanya mengingat lagi, setiap peristiwa, setiap emosi, setiap kebodohan yang takkan mungkin bisa diulangi betapapun aku memohon dan bersimpuh pada sang malaikat penjaga waktu.

.......

.......

Rindu..

Because... I was called a genius

Sudah dari semalem sebel. Karena banyak sekali spoiler muncul di linimasa twitter. Mereka bilang Neji mati. Buat yang suka sama Naruto, setidaknya pernah baca sampai buku yang ke-sekian-belas pasti tahu siapa Neji. Hyuuga Neji. Sebenernya Neji bukan karakter favoritku, tapi entahlah, tiba-tiba ingin membuat tulisan tentangnya.

Kalo bicara tentang Neji, artinya kita bicara tentang takdir. Hidupnya nggak bisa dilepaskan dari takdir.  Dia bahkan pernah mikir bahwa takdir itu sudah pasti, nggak bakal bisa diubah.

Sebenernya takdir itu apa sih? Apakah suatu garis yang benar-benar udah strict ada? Lantas, kalau memang begitu, untuk apa kita harus mati-matian berusaha? Hmmm, kalo dalam islam, takdir itu ada dua jenisnya, ada yang bisa diubah dan ada yang tidak. Kematian, jodoh, adalah hal mutlak yang nggak bisa diubah. Tapi memilih kematian itu bisa. Dengan cara apa kita akan mati? Cara mulia dan akan didukai oleh banyak orang kah. Atau cara hina yang tak seorang pun akan mau mengingatnya. Dan Neji memilih bagaimana dia mati, akhirnya.

Belajar dari Neji adalah belajar dari seorang yang genius. Yang memang dilahirkan dengan kemampuan diatas rata-rata. Tapi melihat Neji juga bisa menjadi pelajaran, bahwa tulus itu penting. Bahwa memaafkan itu penting. Melihat Neji itu belajar tentang membuka hati dengan memaafkan orang lain, dengan tulus. Melihat Neji itu belajar untuk terus mengoptimalkan kemampuannya meski ia adalah jenius.

Hmm, entahlah, mungkin setiap orang akan merasa melihat sebagian dirinya dari Neji. Angkuh. Pintar. Takut pada takdir.

Dan melihat Neji mati, mengingatkanku pada bagaimana nanti aku akan mati. Neji memilih caranya untuk mati: melindungi Hinata dan Naruto. Lantas siapa yang akan kulindungi dengan kematianku nanti?

"Because... I was called a genius"

Thursday, 22 November 2012

Hilang, Temu

Kemarin, hari Rabu.. Hanya ada satu mata kuliah, meskipun tiga SKS. Pukul 10.45 aku sudah bebas dari penatnya belajar di dalam kelas. Aku berjanji untuk bertemu dengan teman. Sambil menunggu, aku makan di kantin Fakultas sebelah. Ku keluarkan selembar uang biru dari dalam dompetku. Dompet pertamaku. Dompet yang dipilih dan dibelikan ayahku. Ternyata selembar uang biru ku itu ditolak oleh ibu kantin, maka kuganti dengan uang yang lain, sementara uang biru ku itu kumasukkan kedalam kantong kecil di sebelah kanan tas hitamku.

Selesai makan, aku menuju Miriam Budiarjo Resource Center (mbrc), tempat ini adalah perpustakaan fakultas ku. Tempat yang nyaman. Begitu masuk, aku naik ke lantai dua. Ku letakkan tas ku di tempat penitipan. Ku bawa ponsel, serta buku tipis yang harus selesai kubaca dua hari sebelumnya, seharusnya. Aku menuju salah satu bilik dan mulai membaca.

Satu jam..
Dua jam..

Temanku mengatakan dia ingin bertemu. Aku turun, menuju musholla, meninggalkan tas hitamku di lantai dua mbrc. Aku bertemu ketua angkatanku, menuju gedung komunikasi, kembali ke mbrc lantai dua, menemui teman, turun kembali ke bawah untuk shalat, dan ke kantin fakultas. Di kantin fakultas, kami makan. Aku hanya membawa selembar uang biruku. yang akhirnya berubah menjadi beberapa lembar warna-warni. Selesai makan dan shalat, kami kembali ke mbrc lantai dua. Ku letakkan lembaran-lembaran uangku di dalam kantong sebelah kanan tas hitamku. Kutinggalkan, dan aku kembali menuju bilik yang sama.

Satu jam..
Dua jam..

Urusan kami selesai. Aku mengambil tas dan membuka kantong kecil sebelah kanan, hendak mengambil lembaran-lembaranku. Tunggu. Kutaruh disini bukan? Kucari di kantong lain. Tidak ada. Kucari di dalam dompet. Tunggu. Mana dompetku? Dompet pertamaku itu, dimana? Tunggu. Dimana? Ku keluarkan seluruh isi tasku. Namun aku tak bisa menemukan lembaran-lembaranku. Tak juga dompet pertamaku. Dompet dengan KTP di dalamnya, dengan SIM yang kudapat dengan susah payah disana, dengan KTM kuning disana. Dan yang paling krusial, dengan kartu ATM ku disana.

Tenang.
Aku tidak panik.

Kucari kembali perlahan. Ku periksa tempat sampah di dekat sana. Tidak ada. Ku minta ibu untuk menelepon ku. Ku beritakan padanya bahwa dompet pertamaku hilang. Entah siapa yang membawa. Masya Allah.. Beban mental itu.. Lebih berat. Dibandingkan menyadari bahwa dompet dengan segala kartu dan dokumen itu hilang, mengucapkan "Dompetku hilang" kepada ibunda, terasa 12 kali lebih berat. Berat sekali.

Seorang kakak menunjukkan keprihatinan dengan wajahnya. Seolah berpikir mencari solusi apa yang bisa ia lakukan untukku.
Seorang kakak mengantarku dengan motornya, meski tak sampai di tujuan, namun dengan kehangatan hatinya untuk peduli, dibawah selimut jas hujan dan di tengah dinginnya kota Depok. Dengan berbagai kata dan ceritanya yang menenangkan hati.
Seorang teman menjaminku bahwa aku akan baik-baik saja, bahwa segalanya bisa diusahakan dan semua akan kembali normal.

Aku kehilangan dompetku. Dompet pertamaku, yang dipilih dan dibeli oleh ayahku. Dompet dengan segala kartu dan dokumen penting di dalamnya.

Tapi aku menemukan, bahwa masih ada yang peduli. Masih ada yang mau memberikan kehangatan hatinya untuk peduli.

Thursday, 1 November 2012

Aksi (?)

Aksi
Aksi
Aksi

Tiga bulan di kampus rakyat ini, aku sering mendengar kata itu. Kata yang digunakan dibelakang kata "seruan" dan biasa dirangkai dengan frasa "kenakan jakunmu!" Aksi. Sebetulnya beberapa bulan ini aku sering bertanya. Entah pada siapa. Mungkin aku juga sedang memecahkan teka-teki malamku sendiri. Sebenarnya apa aksi itu? Pada hakikatnya, secara harfiahnya, apa aksi itu? Benarkah selama ini bila kata itu digunakan untuk suatu seruan? Dengan dalih membela rakyat atau memperjuangkan aspirasi? Ah, tidakkah kata itu hanya digunakan untuk memperhalus kata "Demonstrasi"? Sama halnya frasa "masa aksi" digunakan untuk memperhalus "demonstran"? Benarkah begitu? Atau logika ku yang salah? Ah, aku tidak tahu. Aku masih mencari dimana ujung selubungnya, untuk kusibak pada akhirnya.

Bukan, bukan berarti aku sentimen terhadap aksi. Aku pernah melakukannya. Aku turun ke jalan dan melakukan aksi. Lebih dari sekali malah. Tapi entahlah, tiba-tiba muncul banyak pertanyaan belakangan ini. banyaaaak sekali.

Benarkah yg ku lakukan ini?
Apakah ini langkah yang paling tepat?
Sebenarnya apa yang ku perjuangkan?
Apakah sesungguhnya aku hanya batang kayu yang mengikuti arus deras?
Yang melakukan aksi hanya karena itu terlihat keren?
Atau aku memang tahu apa yang kulakukan?
Lanas apa sebenarnya aksi itu?

Jangan salah, sekali lagi jangan salah. Aku adalah orang yang dinamis. Aku akan terus bergerak. Dan bergerak memerjuangkan keadilan. Tapi aku tak tahu, kawan. Sungguh, aku sedang berada dalam kebingungan dan kegalauan yang luar biasa hanya karena satu kata yang entah mengapa menggetarkan hatiku itu: aksi.

Aku menemukan nyawaku disana, tak bisa dipungkiri itu. Tapi aku tak tahu apa yang kulakukan ini benar. Entahlah, mungkin aku terpengaruh pemikiran seorang aktivis yang abadi dalam buku hariannya. Tapi bagiku ini layak dipertanyakan.

Apa hakikat aksi ini? Hanya sebatas redaksi kah? Atau..... Ah, entahlah. Aku pribadi menganggap aksi adalah perbuatan kita. Segala sesuatu yang kuperbuat. Segalanya. Tidak terbatas pada demonstrasi dan turun ke jalan saja.

Entahlah. Entahlah. Entah. Aku tak tahu.

Tapi aku masih mau tahu.

Tuesday, 16 October 2012

Dari kantin berasap, sebuah renungan

Barusan aja, habis sharing sama senior dari kriminologi UI. Ceritanya si kakak habis turun lapangan buat bikin tugas. Tema kerjaannya itu tentang tempat hiburan malam dan gadis di bawah umur.

Wow.

Dari judulnya aja sebenernya udah kebayang kan apa yang seniorku teliti? Dan mendengar semua penuturan dan ceritanya.. Entahlah, i feel sorry for them. Kebanyakan dari mereka dipekerjakan karena orang tua yang rata-rata petani. Petani upahnya nggak banyak kan. Cuma sekitar dua puluh ribu seharinya. Mereka, anak anak dibawah umur itu, putus sekolah dan bekerja dengan cara yang seperti itu untuk membantu menopang beban keluarga. Mereka dipamerkan. Dipamerkan.


Mereka dihargai dengan sangat murah. Hanya tiga ratus ribu hingga satu setengah juta. Untuk semua hal yang mereka lakukan. Untuk semua hal yang tidak mereka lakukan tepatnya. Dan lokasi-lokasi seperti itu di Indonesia nggak cuma satu. Bayangkan seberapa banyak anak yang harus melakukan pekerjaan hina hanya karena kemiskinan? Seberapa banyak dari mereka yang mengorbankan putusnya sekolah mereka hanya karena kemiskinan?

Mereka dipamerkan.

Dan dihargai sangat murah.

Diperbudak.

"Makanya bersyukur, Bes. Kamu masih beruntung"
Iya, sungguh, aku masih sangat beruntung. Sangat. Masih hidup dalam taraf cukup. Masih mampu belajar hingga ke kampus perjuangan ini. Apa lagi yang bisa ku keluhkan?

Tuesday, 25 September 2012

Kelas Pengantar Ilmu Komunikasi

"Wise men speak because they have something to say. Fools speak, because they have to say something."
Plato, ribuan tahun yang lalu

Wednesday, 29 August 2012

Pinta


Sadar nggak sih, seberapa sering kita meminta?

Minta apaaaa aja. Minta ditraktir, minta masuk SMA ini, minta kuliah disini, minta nilai, minta uang, minta laptop, minta mobil, minta pacar... Seriiiing banget kita meminta, dan pada siapa saja. Sahabat, teman, guru, orang tua. Dan yang jelas satu: minta sama Tuhan.

Memiliki Tuhan adalah kebutuhan dasar manusia. Kita pasti butuh Tuhan, agama apapun itu. Islam, kristen, protestan, hindu, budha, bahkan yang (maaf) atheis sekalipun. Pasti ada detik-detik dalam hidupnya dimana ia meminta pada Dzat-Yang-gaib. Yang kemampuan-Nya tidak bisa dijangkau akal manusia.

Sadar nggak sih, bahwa kita seriiiing sekali memaksakan apa yang kita pinta? Ngaku aja lah~ pasti diantara kita lebih banyak yang bilang "Ya Allah, hamba ingin masuk univ anu" dibandingkan "Ya Allah, aku pasrah atas apa yang Engkau beri"

Dan sadar nggak sih, kalo beberapa diantara kita mungkin ngambek ketika pinta itu belum dikabulkan? Kecewa, marah, itu juga perwujudan ngambek.. Pernah nggak sih kita melihat dari sisi lain dan meyakini bahwa skenario dari arasy itu akan lebih hebat? Karena memang nyatanya, itu lebih hebat :)

Check this out. Nyata!

Saturday, 18 August 2012

aku ingin menulis

Karena aku ingin abadi
Mengabadikan pemikiran dalam tulisan
Karena aku ingin menjejak meninggalkan hampa
Hampa dan diam yang menyiksa

Karena aku ingin menyimpan sejarah
Tentang betapa konyolnya ku lewati masa remaja ku
Karena aku ingin menyimpannya sebagai pengingat
Bahwa idealisme ku terekam disini
Dan takkan kubiarkan usia memakannya

Karena itulah aku ingin menulis

Tuesday, 7 August 2012

Tolong

Udah seminggu lebih di depok. "Depok gimana Bes?" panas. Macet. Jalanan serem. Angkotnya brutal.

Tapi di depok ini aku kuliah. Begitu masuk area UI, kamu bakalan nemu sistem yang berbeda. Yang memfasilitasi mahasiswa banget.. Ada spekun (Sepeda kuning) yang bisa dipinjem buat muter muter UI. Ada bikun (Bis kuning) yang muncul tiap 15 menit di halte bikun dan nggak bisa di-stop sembarangan. Di UI ini... Di masjidnya yang gede. Perpusnya yang guede. Hutannya yang gueeeede. Somehow masih ngerasa "beneran nih aku kuliah disini?"

Maba.

Ospek

Seperti semua maba yang lagi ospek di seluruh penjuru Indonesia. Di sini juga banyak tugas. Banyak ketentuan dan regulasi. Sebel? Nggak juga. Capek? Iya banget. Bukannya sombong ya, tapi dengan jungkir baliknya dunia Smala ku (yang super sibuk, yang bahkan tugas MOS dan LDK nya lebih banyak dari ospek ini) aja aku masih ngerasa capek banget. Mondar mandir di kampus dari pagi sampai malem. Apalagi mereka yang nggak pernah dikader macam smalane?

Bukan, aku tidak menyalahkan rasa capek dan kantuk atau marah yang mungkin menyerang semua maba. Aku kecewa pada etika yang ditunjukkan oleh mereka mereka yang tidak puas.

"Gila, harus pake putih putih? A males a, biar aja besok gua kagak mau make"
"Bisa cabut kok. Tetep dapet, nggak mungkinlah.. Itu kan hak kita"
"Nggak usah gitu kak, capek lo ntar"
"Apaan sih? Display UKM? lu dateng? males banget gua"
dan sebagainya dan sebagainya...

Itu omongan maba UI. Yang katanya kampus perjuangan. Omongan picik untuk merencanakan pelanggaran peraturan dan mencela panitia dari segala sisi. Setiap keluhan keluhan itu terdengar, aku jadi kangen berat sama Smala. Sama semua obrolan inteleknya. Memang ya, kualitas seseorang itu terbukti dari apa yang mereka bicarakan.

Ayolah bagi yang merasa dirinya maba. Apa susahnya kita nurut sama senior? Kita nggak bakalan disesatin kok. Apa susahnya sih berpikir positif dan memanfaatkan apa yang kita dapatkan dari ospek ini? Mana kebanggan yang kalian tunjukkan saat pengumuman ujian masuk dulu? Hilang ditelan kata ospek? Nggak kan?

Capek memang, tapi percaya deh, bakalan terbayar kok... Ayo kita jadi mahasiswa yang berkualitas. Yang keberadaannya meninggalkan jejak di jantung kampus. Yang manfaatnya terasa bahkan ke sum sum generasi-entah-keberapa nanti.

Kalau menghadapi permasalahan maba aja kalian begini, gimana kalian mau menghadapi permasalahan dunia? Kalau keluhan itu datang secepat ini, terus didaraskan tanpa kerja, ya jangan marah kalau pemimpin pemimpin bangsa ini juga melakukan hal yang sama.

Kampus itu heterogen. Aku tau. Banyak pemikiran. Aku tau. Tapi tolong, hilangi kebiasaan mengeluh itu. Apa sih yang kalian keluhkan? Sementara yang kalian lihat saat ini hanya melihat permukaannya saja kawan...

Tolong.

Thursday, 2 August 2012

Orang ini

Belum pernah ketemu sih. Bahkan orang ini nggak tau siapa saya. Tapi orang ini sudah berhasil memberi saya banyaaaaak sekali inspirasi. Dari blognya. Dari cerita mbak. Semuanya. Bahkan orang ini berhasil membuat saya menangis hanya dengan membaca tulisan tulusnya.

Check this out

Kata Lintang

Semalem teraweh di masjid deket kosan sama Ica sama Lintang. Tiba-tiba Lintang bilang gini:

"Aku pernah baca, katanya itu dunia ini busuk bukan karena kejahatan yang dilakukan orang-orang jahat, tapi karena the silence of good people"

Sunday, 15 July 2012

Serem ya

Serem ya.. Belakangan banyak diwejangi..

"Harus di filter info yang masuk"
"Disana itu banyak ideologi"
"Nilai yang dianut tiap orang, batasnya sudah mulai memudar"
"Kalau mau ambil keputusan, minta pertimbangan orang lain juga"
"Disana dekat dengan jantung politik"

Serem banget dibilang begitu... Jadi takut... Apa aku bisa bertahan? Aku bukan orang dengan pendirian kuat. Idealitas ku juga tanpa ilmu. Aku sering melakukan sesuatu tanpa tujuan. Apa aku bisa melindungi diri dengan baik disana? Semoga...

"Saling mengingatkan ya bes"

Belakangan sering ditanya, "keterima dimana?"
"Di universitas anu"
"Waaah, selamat ya"
"Doakan ya"
"Loh kan sudah masuk toh?"

Aku masih butuh doa kalian tau. Biar selamat disana. Biar ketika pulang, aku masih Bestari. Mungkin Bestari yang berubah, tapi ke arah perbaikan dan kedewasaan..

Bismillah...

Bismillah... Tanah Baru... Doakan...

Hayo yang taun depan mau nyusul... :p

Thursday, 24 May 2012

Hope: I'm always here


Jembatan? Atau mercusuar?

Somebody ask me about that

Aku bilang, aku lebih suka mercusuar. Kaena dia juga kuat. Dia tetap berdiri dengan kokoh di pantai yg berdebur ombak. It gives hope for the clueless one in the sea. Ketika melihat cahaya ny bahkan dari jauh orang akan berpikir, "aku pulang." Mercusuar itu sebuah harapan di laut lepas yang luaaaaaas, yang selalu pingin dilihat sama pelaut manapun di ujung pelayarannya...

Tapi orang itu bilang dia suka jembatan. Karena jembatan itu kuat, rendah hati dan setia. Dia gak akan pernah protes setiap hari orang dan kendaraannya meninjak injak bahunya :p Jembatan itu menghubungkan, perantara. Bukan karena peran dia tidak penting--tapi mungkin--karena memang ia yang punya ability menarik semua orang agar hijarah

Bagiku, menjadi rendah hati itu memang penting, tapi yang lebih penting adalah bagaimana cara menempatkan diri kita agar menjadi sebermanfaat mungkin, dan tentunya, seikhlas mungkin. Pada akhirnya entah itu jembatan atau mercusuar, kita nggak bisa memilih mana yang lebih baik untuk kita contoh. Yang harus kita lakukan adalah bercermin pada keduanya untuk jadi manusia yang lebih baik lagi..

Seperti kokohnya mercusuar

Seperti rendah hatinya jembatan

There's nothing as "it's just me"


And then...?

"You always so nice to kids and elderly"

Then.... Am i not nice to you?

Sunday, 8 April 2012

Surat itu

Sebuah surat datang padaku.
Tidak istimewa, amplopnya hanyalah amplop coklat biasa.
Di dalamnya pun tidak ada emas atau berlian.
Tidak ada foto.
Atau uang berlembar lembar
Yang ada hanya dua lembar kertas putih.
Yang sekarang sudah tidak karuan lagi.
lecek.
luntur dimana-mana karena air mata.
surat itu
yang sama sekali tidak istimewa itu
berisi seorang sahabat...

Saturday, 17 March 2012

Mom.. Happy birthday

Ibukku sayaang, tahukah? Aku sayaaaang padamu.. Tapi mungkin aku belum cukup membuktikannya padamu.. Tahukah kau aku sering rindu padamu? Mungkin tidak karena aku tidak pernah mengataknnya.. Tapi dapat kupastikan bahwa namamu selalu kusebut dalam setiap doaku.. Sudah cukupkah itu untuk membuktikan cintaku padamu?

Ibukku sayang, jgn pernah berhenti menjadi ibukku.. Sampai nanti, ketika kita melalui ulang tahun mu yang k 50, 51, 60, 100.. Teruslah menjadi ibu yang kucintai..

Dan sms ini cuma dibales ibuku "amin"

The power of song

"pelajaran dipompa masuk, praktek diaplikasikan
walau otak hampirlah takluk, tapi tak usahkan
walaupun payah pantang menyerah, karena kita calon pemimpin siswa
walaupun payah pantang menyerah, karena kita calon pemimpin bangsa"

Lagu ini... Bisa banget buat jadi penyemangat menghadapi ujian... Otakku hampir takluk, sudah payah. Tapi tetep, gak bakal menyerah...

Tuhan tahu, tapi menunggu

"Eh, nanti bales sms ku yo"
"Njaluk tulung yo rek"
"Halah, enak wa pengawase"

Sudah biasa mendengar itu.. Sudah bosan.. Mulai muak dengan keadaan generasi muda sekarang..
Tapi, keluh kesah seperti itu juga sudah sering ku dengar. Sudah banyak amarah, tangis dari mereka yang mampu mempertahankan kejujurannya. Tapi ya, hanya sebatas itu. Hanya sebatas merasa.

Bukan karena aku melakukan lebih.

Aku juga cuma bisa merasa. Tapi sungguh, aku kecewa... Sistem pendidikan yang kuenyam sekarang, orang-orang yang berada di dalamnya, semuanya ada untuk mempermudah ketidakjujuran itu. Seakan angka yang tertulis di ijazah nantinya dapat membeli akhirat.

Hei pencuri, tahukah kamu? Tuhan itu tahu, tapi Ia menunggu. Dan ketika masanya datang, Ia akan mengguyur semua doaku, akan mengguyur semua perbuatanmu, hanya dalam satu kejadian saja. Pencuri, tidakkah kau tahu? Angka sepelemu itulah yang kau gunakan untuk mencari uang nanti... Tidakkah terpikir uang haram apa yang masuk kedalam perutmu nanti? Sadarlah, nilaimu itu tidak bisa kau gunakan untuk membeli surga? Pencuri yang budiman, yang bangga dengan yang kau lakukan... Lantas apa yang membedakanmu dengan para koruptor itu?

Kalian sama, tukang sandiwara... Kalian mengambil hakku.. Kalian lupa bagaimana indahnya berjuang.. Kalian bukan manusia..

Tuhan tahu, tapi menunggu... Dan ketika ia telah menumpahkan semua kutukan dari kami padamu. Kau hanya dapat menyesalinya.. Kau hanya akan hancur.. Tak bersisa.