Saturday, 18 November 2017
Life: Episode Lomba Orasi
Dulu, waktu saya masih SMA (wow, it has been that long?) saya ikutan lomba nulis esai plus orasi. Jadi intinya peserta harus tulis esai di pleminary, terus sepuluh besar akan diumumkan untuk orasi. Kebetulan saya masuk sepuluh besar dan harus orasi. Di tempat orasinya, disediakan microphone untuk para orator. But being a stubborn person I am, I refused to use the mic and instead, I showed off my ability to be loud and clear without mic.
Tahu apa yang terjadi?
Ada tiga juri di sana. Sementara yang dua muji-muji saya, satu juri ini bilang dengan lembut, "Saya salut sama kamu yang mencoba untuk berbeda. Tapi akan lebih baik kalau kita tidak sombong dan bisa memanfaatkan semua resource yang ada".
And that stirred up my mind. Nempel di otak saya sampai sekarang.
Fearless and Seamless
Nah, setelah saya mulai fearless dan selalu coba untuk ngelakuin hal baru, yang selanjutnya harus saya pegang adalah seamless. Sederhana sekali mulanya, karena saya suka sekali ketika dipuji dan dibilang pekerjaan saya seamless. Jadi sekarang saya selalu melakukan segalanya dengan harapan saya bisa dipuji seamless lagi. Hahahaha.
Jadi, ini moto hidup baru saya, diawali dengan fearless dan diakhiri dengan seamless.
Tuesday, 31 October 2017
May The Odds Be Ever In Your Favour
Karena kalimat ini powerfull.
May the odds, semoga segala rintangan
Be ever in your favour, berada dalam belas kasihanmu
See?
Kalimat ini bilang kalo kamu yang punya kekuatan buat kasih belas kasihan. Artinya kamu yang kuat, kamu yang jadi rajanya disini, bukan rintangannya. And it do speak a lot. It always remind me that we are strong enough, if only we believe in it. Odds have no chance against us. Because we are the one giving favour.
May the odds, be ever in your favour.
Tuesday, 28 March 2017
Life's Episode
Selamat datang di labeled-series terbaru~
Seri ini saya buat karena banyak kejadian hidup saya yang menyenangkan, dan punya pelajaran. Dan karena saya tidak mau lupa, maka disinilah episode-episode hidup saya, saya arsipkan ^^
Selamat bersenang-senang~
Life: Episode SNMPTN
Tahun 2012 kemarin, saya adalah peserta SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Saya nggak tahu apa namanya sekarang, yang jelas itu adalah seleksi tulis se-Indonesia untuk bisa masuk ke PTN. Karena pada tahun itu nggak semua siswa bisa dapat kesempatan untuk undangan, dan saya sadar diri karena nilai-nilai SMA saya sungguh memalukan, saya mencurahkan semua fokus saya untuk SNMPTN.
Maka tibalah hari-hari menjelang SNMPTN. Banyak try out sudah saya ikuti, saya belajar benar-benar karena saya ingin sekali masuk komunikasi UI. H-1 SNMPTN, saya diantar oleh ayah saya pergi ke UNESA (tempat saya tes). Disana, saya mencari benar-benar gedung tempat saya tes, ruangannya, bahkan saya mengukur waktu yang dibutuhkan dari rumah menuju ke UNESA, dan saya memeriksa kamar mandi terdekat dari ruangan saya dan sebagainya dan sebagainya. Intinya, saya benar benar tidak mau terlambat dan tanpa persiapan.
Saat hari-H tiba, saya masuk dengan tenang, tanpa panik. Saya tahu dimana gedung dan ruangan saya. Saat tes pertama (tes kemampuan dasar dan TPA), saya mengerjakan dengan baik-baik saja. Hingga tiba-tiba di tengah ujian itu, saya ingin ke kamar mandi. Bayangkan, ingin buang air kecil di tengah-tengah ujian yang tidak diizinkan keluar sama sekali. Konsentrasi saya seketika buyar. Alih-alih mengerjakan soal, konsentrasi saya justru saya curahkan pada bagaimana caranya supaya saya bisa menahan pipis. Sepuluh menit........ Dua puluh menit......
Dan tiba-tiba
.....
Ada suara aliran air, dan kepala-kepala peserta ujian yang menengok.
Termasuk saya
Seorang perempuan, duduk di arah jam 11 saya, mengompol begitu saja. Di ruangan. Saat ujian masuk perguruan tinggi. Tanpa kata.
Seketika itu juga, keinginan saya untuk ke kamar mandi hilang. Terima kasih, mbak.
Nb: ketika pengumuman SNMPTN di koran, saya hitung nomor ujian si mbaknya, dan ternyata dia tidak lulus :( Yang tabah ya mbak.
Life: Episode Cuci Karpet
Cerita ini tentang episode hidup saya saat berumur 6-15an tahun. Dulu, rumah saya hanya bangunan yang kami fungsikan sebagai tempat makan dan tidur. Orang tua saya, keduanya guru, dan dengan penghasilan (yang saat itu) tidak seberapa, serta (saat itu) dua anak yang harus disekolahkan, rumah kami benar-benar tidak seperti rumah.
Di ruang depan, yang kami fungsikan sebagai ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, sekaligus tempat tidur, tidak ada sofa, yang ada hanya sebuah karpet seperti karpet masjid zaman dulu. Besaaar, ada dua lapis, yang dibawah berwarna merah, dan yang diatas berwarna abu-abu. Karpet itu, sejauh saya mengingat, sudah ada bersama rumah kami. Dan setiap hari permukaan karpet itu hanya dibersihkan seperlunya. Bayangkan berapa banyak debu dan rambut yang berkumpul disana. Hahaha.
Jadi karena karpetnya besaar sekali, bagaimana kami membersihkannya? Karpet itu mungkin hanya kami cuci dua kali setahun. Setiap hujan lebat. Karpet super besar itu kami keluarkan dan kami bentangkan di jalan (yes, you read it right. Di jalan). Kemudian saya dan ayah saya akan hujan-hujan sambil mencuci karpet. Menggunakan air hujan, sikat cuci baju, dan sabun cuci. Karpetnya besar sekali sehingga biasanya baru akan selesai setelah dua jam kami hujan-hujan.
Sekarang, bertahun-tahun setelah rumah kami renovasi dan ruang depan kami tanpa karpet, saya tidak tahu kemana karpet legendaris itu pergi :( kadang, rindu rumah adalah mengingat sesuatu sesederhana mencuci karpet di tengah hujan bersama ayah.
Nb: that was the only photo of me and my dada alone that I can find~ I cannot find the photo of that big carpet too~ Nor the photo of our old home~
Monday, 6 March 2017
Thursday, 23 February 2017
Skripsi
Saya sedang baca ulang skripsi saya. Terus saya nemu satu paragraf yang ngebuat saya tercenung:
"sebagaimana penulis perempuan yang menulis untuk membangkitkan kesadaran identitas perempuan, saya menulis skripsi ini dengan harapan bahwa skripsi ini dapat membangun kesadaran perempuan Indonesia akan posisi dan perannya dalam masyarakat. Dominasi atas perempuan mungkin bukanlah perbincangan yang baru, akan tetapi, melalui skripsi ini, saya berharap perempuan dapat melihat bahwa ruang publik terbuka lebar bagi siapapun yang ingin menyuarakan pendapatnya. Perempuan sama berhak dan sama bebasnya untuk bersuara, dalam politik, maupun dalam rumah tangga. Saya berharap skripsi ini dapat mendorong perempuan untuk mulai berkarya, menulis dan meninggalkan jejak pikiran, serta membangun kesadaran bahwa keperempuanan adalah identitas yang tidak bisa kita tinggalkan. Kami perempuan, kami bangga, dan kami menulis untuk bersuara."
Let's not forget our initial heart, Bes.
The Happiest Time
These days I'm up to nothing. After my last project, I'm unemployeed. So I just lie around my bed lazily and opened twitter-instagram-askfm-youtube all day long. And sometimes opened my PC to watch series or another channel on youtube.
I used to think, what could go wrong? This is life that anyone always wanted. With nothing to do, no responsibilities, gotta watch my favourites all day long virtually, on top of that, I didn't have to worry for my living cost because I still have money. But this noon I've come to think, this is not happiness. All the doing-nothing is not my happiness. And I began to asks myself, when did I've had my happiest time?
And the answer just pop up immediately in my head. As if it's been there a long time, waiting myself to ask this obvious answer.
I'm the happiest at my elementary, cooking chocolate with my close friends. I'm the happiest when I went home together with my small gang at middle school. I'm the happiest when I went on LDKMS, when I planned an event, when I study my hardest at the tough-time in high school. I'm the happiest at my time in BEM. In fact, I'm the happiest when I'm with another people. Dreaming on something we dream together. Planning on wildness we built together. Doing on something we all promised to. In fact, I'm the happiest when I sweat myself out, talking about things, making friends. That's when I'm the happiest.
Of course doing nothing in my room was sure a comfortable act. But this isn't happiness. My happiness is out there, within people and action. Within weary and tears. Within hard times and suffer. Not in bed. Not in my room. Not now.
So, I think I have things to do now.
Tuesday, 21 February 2017
Bukan tentang Rasionalitas Plot
Lately, I am yearning for the years when everything was much more simple.
Ketika membaca buku menjadi kegiatan yang selalu menyenangkan. Dan ketika menulis menjadi hal yang tidak pernah dipaksakan.
Dulu saya menulis. Berlagak menjadi sastrawan amatir yang berpuisi dan menutur cerita. Jadi saya memutuskan, saya mau mulai bersastra lagi.
Lalu entah bagaimana ceritanya saya baca tulisan ini. Bahkan sebenarnya bukan tulisan, tapi sekadar fanfiction. Paragraf pertama, if this kind of story has so many viewers, I wonder how much more mine. Terus baca ke bawah, not bad, she penned her words nicely. Ketika konflik mulai muncul, I know where would this end~ Saya sudah bisa menebak akan bagaimana cerita itu. Akan semacam cerita-cerita picisan lainnya dengan akhir yang sama dan pesan moral yang sama. Guess what? Towards the end, I cried. A really really hard cry making my head dizzy.
Terus saya jadi mikir. Ini yang unik dari menulis. Saya bisa jadi sudah tau bagaimana ceritanya, semua pembaca yang lain juga. Tapi membuat pembaca mau tetap baca, tertarik secara emosional, dan merasakan apa yang dirasakan karakter cerita, itu adalah kemampuan penulisnya. Pada akhirnya, yang penting bukan hanya seberapa unik dan berbeda ceritanya, tapi bagaimana cerita itu disampaikan ke hati pembaca.
I've learned my lesson.
Sunday, 12 February 2017
Konsistensi
Ceritanya, saya ini gemuk sekali. Sudah lima tahunan ini saya overwight. Semenjak sudah nggak olahraga pasca-SMA, dan nggak pernah berusaha diet juga. Lalu tibalah hari dimana temen sekamar saya ngajakin diet. Bukan diet sih, bahasanya dia ngatur makan aja biar sehat. Terus untuk pertama kalinya saya nurut. Saya ikutan beli sayur-sayuran. Nggak makan fast food, nggak makan nasi, makan yoghurt sekali sehari (aslinya saya bisa makan 5 cup yoghurt sehari. Atau satu kotak susu yg 1 (?) liter itu sehari), sarapan, dan makan malam lebih awal.
Hari ini, seminggu setelah pola makan sehat ini dimulai, temen saya nanya,
"Bes, gimana? Setelah seminggu ini kamu merasakan perubahan apa?"
"Nggak berasa apa-apa"
"Terus kamu masih mau lanjut?"
"Iyalah"
"Semangat ya"
Jadi ceritanya dia mau mutung karena buat dia cara ini nggak berhasil.
Terus saya mikir, sebenernya diet itu bukan masalah ngurusin badan. Tapi masalah ngebenerin pola hidup yang berantakan. Dengan sarapan setiap hari, mengawali makan malam setiap hari, nggak makan fast food setiap hari. Semuanya butuh setiap hari dan konsistensi. Kalau belum berbuah, ya mungkin artinya kita belum konsisten sama apa yang kita lakukan.
Dan hal ini berlaku untuk segala hal.
Mulai dari belajar yang baik (sedikit, tapi konsisten), sampai berbuat baik ke orang lain. Semuanya butuh konsistensi. Dan setelah konsistensinya sudah kita lakukan tanpa sadar, mungkin kita baru bisa lihat apa efeknya. Sejauh mana ternyata kita sudah berubah.
Jadi, kalau belum ada yg berubah? Berarti kita belum konsisten :))
"Kalo jalan kaki sejam dibilang olah raga berarti aku jalan di mall sejam dua jam udah olah raga dong"
"enggak dong, kan tujuannya bukan buat olah raga, dan jalannya kan nggak konsisten"