Kalau ditilik secara common sense (karena saya nggak berani paparkan hasil skripsi saya disini, kurang komprehensif), penulis perempuan dan laki-laki menggambarkan perempuan dengan berbeda. Penulis laki-laki biasanya menggambarkan perempuan sebagai sosok lembut, indah, dan butuh dilindungi (lihat bagaimana Pramoedya Ananta Toer, Tasaro GK, Tere Liye menggambarkan perempuan dalam novelnya). Sementara penulis perempuan menggambarkan perempuan dengan yang tidak selalu cantik, lebih berani, lebih rebellious, keras, dan cerdas (lihat bagaimana JK Rowling, Suzanne Collins, Veronica Roth, NH Dini, Marga T, Dee, Djenar Maesa Ayu, Ayu Utami, Leila Chudori menggambarkan perempuan dalam novel-novelnya, badass!).
Kisah klasik juga begitu. Cerita klasik dunia sangat mencerminkan gender pembuatnya. Kisah-kisah karya laki-laki seperti Grimm bersaudara dan Walt Disney sendiri cenderung menyajikan perempuan yang damsel in distress. Perempuan muda yang melawan kejahatan dan butuh ditolong oleh sang pangeran. Dan mereka hidup bahagia selamanya. Dalam cerita-cerita ini perempuan dijadikan sebagai objek, tokoh yang lemah dan tidak diberi pilihan.
Lucunya, di kisah yang ditulis perempuan, penggambaran perempuan tidak begitu. Saya ambil kisah Beauty and the Beast karya Jeanne-Marie LePrince de Beaumont. Dongeng ini menggambarkan Beauty sebagai sosok yang cerdas. Dan terlebih lagi, tidak melihat cinta sebagai sebuah keindahan fisik dan kegagahan seorang laki-laki. Tapi lebih kepada companion dan partnership. Dalam dongeng ini beauty diceritakan sebagai gadis yang lebut namun rasional, dan mencintai kerasionalan.
Terlihat sekali kan bagaimana laki-laki dan perempuan dapat menggambarkan perempuan dengan sangat berbeda? Karena itu kita butuh lebih banyak perempuan yang menulis untuk mewakili suara perempuan.
Anyway, kisah asli Beauty and the Beast dapat dibaca disini. Cerita aslinya bagus sekali. Sungguhan.
and their happiness -- as it was founded on virtue -- was complete
No comments:
Post a Comment