Beberapa bulan lalu, atau mungkin beberapa tahun lalu, entahlah, saya ngobrol sama seorang teman. Dia bilang kalau dalam hubungan persahabatan dia selalu ada yang ngasih lebih banyak. Hubungan dengan si A misalnya, teman saya ini lebih banyak ngasih. Sementara dengan si B, teman saya lebih banyak diam dan menerima.
Definisi ngasih dan nerima ini bisa jadi banyak hal, mulai dari cerita-cerita, ungkapan kasih sayang, perhatian, dan sebagainya dan sebagainya. Menariknya, semua hubungan ini tetap berjalan dengan baik-baik saja karena memang ekspektasinya sudah terpeta. Dan kedua belah pihak sama-sama paham. Misalnya saja, saya nggak akan berharap blueberry tanya kabar saya duluan karena dalam hubungan kami, saya yang tanya duluan. Atau, saya tidak akan kaget kalau alpukat tiba-tiba kirim hadiah ke rumah karena begitulah hubungan kami.
Dalam hubungan antar-pribadi, dua belah pihak punya pengalaman yang sama dalam menjalani hubungan diantara mereka. Jadi, ekspektasinya sudah terpeta. Dan bukankah hubungan yang paling baik adalah hubungan yang keduanya memahami ekspektasi satu sama lain? Tidak ada tuh istilah harapan palsu dalam hubungan yang sehat karena tidak main kucing-kucingan. Ekspektasinya jelas, jadi tidak ada kekecewaan.
Ironisnya, kadang adanya pemahaman ini membuat kita jadi menganggap remeh makna seseorang dalam hidup kita. Adanya pemahaman bahwa orang lain memang tidak akan berusaha lebih dulu kadang membuat kita bertanya, apa artinya kita memperjuangkan sendirian? Ironisnya, meskipun ada pemahaman, hubungan di mana yang satu memberi lebih banyak dibanding yang lain, justru membuat hubungan itu sendiri rapuh. Karena hubungan itu seperti cermin, seperti gaya, kita baiknya menerima sebanyak yang kita beri.
Saya pernah menulis di blog ini bahwa sebanyak apapun kita memberi cinta, kasih sayang, semuanya akan kembali meski tidak dengan cara yang sama. Meski tidak melalui orang yang sama. Ini berlaku untuk semua jenis hubungan ya. Termasuk untuk hubungan keluarga, yang paling kuat pemahamannya, tapi mungkin menjadi yang paling rapuh karena tidak pernah dipelihara.
Intinya, hubungan yang sehat memang bermula dari pemahaman, tapi hubungan yang sehat juga harus diiringi dengan usaha satu sama lain untuk memberikan perjuangan dan keringat yang sama dalam menjaga hubungan. Supaya suatu saat ketika kita tidak lagi ketemu dengan sahabat atau mantan kita, bukan kita sendiri yang hatinya sakit saat duduk di kafe yang biasa didatangi bersama.
Mungkin inilah kenapa orang dewasa punya sedikit teman ya. Menjaga hubungan itu super susah!
Sunday, 14 April 2019
Saturday, 8 September 2018
Tentang Cita-Cita
Kata orang, gantungah cita-citamu setinggi langit lalu gapailah.
Belakangan ini saya banyak mikir tentang cita-cita. Tentang tujuan hidup dan masa depan. Quarter life crisis kalo kata orang. Tapi karena saya nggak tahu kapan quarter ini selesai, saya lebih suka disebut on going crisis aja hahahaha.
Idealnya, setiap orang punya cita-cita yang dibangun sejak kecil. Kalau saya dulu waktu SD cita-citanya suka nggak masuk akal gitu. Yang paling bertahan lama adalah cita-cita jadi detektif dan jadi komikus (nggak masuk akal karena sama sekali nggak punya skill buat jadi keduanya hahaha). Sewaktu SMP cita-cita saya banyak dipengaruhi sama bagaimana keluarga saya menjalani hidupnya. Antara pingin jadi dokter (karena kakak saya dokter) atau pingin jadi dosen (karena orang tua saya ngajar). Waktu SMA cita-cita saya mulai agak realistis, tapi jangkanya pendek sekali: saya ingin masuk Komunikasi UI. Setelah kesampean, waktu kuliah cita-cita ini saya spesifikasi lagi dan saya gantungkan setinggi langit seperti saran orang-orang.
Setelah dua tahun saya adulting, saya jadi mulai mikir lagi tentang cita-cita saya yang di langit itu. Saya inginnya itu, tapi kok malah ngerjain yang ini? Emang saya udah nggak mau berjuang buat cita-cita saya ya, kok malah nggetu-nya buat yang ini.
Setelah berdialektika sama diri sendiri, saya mencapai kesimpulan: Menemukan cita-cita baru di sepanjang jalan, dan memutuskan untuk mengejar cita-cita yang baru itu valid kok!
Kita masih muda saat diminta menggantungkan cita-cita. More often than not, we dream about something we thought cool. Something that build the illusion around us that it would be meaningful. Thus, making us set it as our life goals. Along the way, when we are no longer bonded to school and we could choose our own interest without time limit, we found other thing that was more intriguing, more passionate, more tempting to fight for. And I tell you, IT IS VALID. You are valid for having a new dream. You are not throwing out your dream and choose to strive for something easier, less meaningful, no you are not. You simply just find another thing worthy your time. And it is allowed.
A woman once wanting to be a nurse but now dreaming on nurturing her own children? Valid. A man once dying to study law but now pursue acting? Allowed! A mother once seeing her family as everything but now fight for their right in congress? Why not?
The important thing is, we still have the dream. We still fight for something better. And as Obama said, better is worth fighting for. So girls, (and boys), keep fighting for your dream. The same old one or the new passionate one. You can hang it anywhere as long as you know how to reach it. And do not let anyone say otherwise. ever. Don't let anyone judge you and make you feel bad about wanting to go for different thing. Don't let anyone choose for you which dream to live for. It is your dream. You gonna live with it. It is too pity to sacrifice your method of life just for the sake of other's expectations. You deserve more than that.
So keep that beautiful dream of yours and let's strive together. For the better.
Ps. Well, even Rapunzel (My favorite princess!) found her own new dream. Better, because she already achieved her first one. Progress!
Belakangan ini saya banyak mikir tentang cita-cita. Tentang tujuan hidup dan masa depan. Quarter life crisis kalo kata orang. Tapi karena saya nggak tahu kapan quarter ini selesai, saya lebih suka disebut on going crisis aja hahahaha.
Idealnya, setiap orang punya cita-cita yang dibangun sejak kecil. Kalau saya dulu waktu SD cita-citanya suka nggak masuk akal gitu. Yang paling bertahan lama adalah cita-cita jadi detektif dan jadi komikus (nggak masuk akal karena sama sekali nggak punya skill buat jadi keduanya hahaha). Sewaktu SMP cita-cita saya banyak dipengaruhi sama bagaimana keluarga saya menjalani hidupnya. Antara pingin jadi dokter (karena kakak saya dokter) atau pingin jadi dosen (karena orang tua saya ngajar). Waktu SMA cita-cita saya mulai agak realistis, tapi jangkanya pendek sekali: saya ingin masuk Komunikasi UI. Setelah kesampean, waktu kuliah cita-cita ini saya spesifikasi lagi dan saya gantungkan setinggi langit seperti saran orang-orang.
Setelah dua tahun saya adulting, saya jadi mulai mikir lagi tentang cita-cita saya yang di langit itu. Saya inginnya itu, tapi kok malah ngerjain yang ini? Emang saya udah nggak mau berjuang buat cita-cita saya ya, kok malah nggetu-nya buat yang ini.
Setelah berdialektika sama diri sendiri, saya mencapai kesimpulan: Menemukan cita-cita baru di sepanjang jalan, dan memutuskan untuk mengejar cita-cita yang baru itu valid kok!
Kita masih muda saat diminta menggantungkan cita-cita. More often than not, we dream about something we thought cool. Something that build the illusion around us that it would be meaningful. Thus, making us set it as our life goals. Along the way, when we are no longer bonded to school and we could choose our own interest without time limit, we found other thing that was more intriguing, more passionate, more tempting to fight for. And I tell you, IT IS VALID. You are valid for having a new dream. You are not throwing out your dream and choose to strive for something easier, less meaningful, no you are not. You simply just find another thing worthy your time. And it is allowed.
A woman once wanting to be a nurse but now dreaming on nurturing her own children? Valid. A man once dying to study law but now pursue acting? Allowed! A mother once seeing her family as everything but now fight for their right in congress? Why not?
The important thing is, we still have the dream. We still fight for something better. And as Obama said, better is worth fighting for. So girls, (and boys), keep fighting for your dream. The same old one or the new passionate one. You can hang it anywhere as long as you know how to reach it. And do not let anyone say otherwise. ever. Don't let anyone judge you and make you feel bad about wanting to go for different thing. Don't let anyone choose for you which dream to live for. It is your dream. You gonna live with it. It is too pity to sacrifice your method of life just for the sake of other's expectations. You deserve more than that.
So keep that beautiful dream of yours and let's strive together. For the better.
Ps. Well, even Rapunzel (My favorite princess!) found her own new dream. Better, because she already achieved her first one. Progress!
Friday, 13 July 2018
Apa Harus Ada Yang Mati Dulu?
Jadi saya baru saja selesai nonton film ini. Judulnya 1987 When The Day Comes. Film buatan Korea Selatan. Menceritakan (sebagian kecil) keadaan Korea Selatan saat berada di bawah rezim diktator Chun Do Hwan. Ceritanya dimulai saat seorang mahasiswa universitas seoul yang merupakan aktivis demokrasi, Park Jongchul, meninggal saat sedang diintergosu. Diangkat dari kisah nyata, film ini kemudian menceritakan bagaimana kebenaran akan kematian Park Jongchul akhirnya bisa keluar. Sepanjang cerita, banyak suap dilakukan, demonstrasi mahasiswa, pertukaran informasi rahasia, perjuangan pers, kekerasan pihak militer, dan mahasiswa yang meninggal (lagi). Film ini hanya pengantar, tapi peristiwa Aksi Demokrasi Juni yang ada di akhir bagian film merupakan bagian dari efek domino yang kemudian meruntuhkan rezim Chun Do Hwan pada 1988.
![]() |
6.10 Democracy Movement, South Korea 1987 |
Mengingatkan pada peristiwa 1998 di negara kita bukan?
![]() |
Peristiwa Mei, Indonesia 1998 |
Lalu karena saya masih dilanda perasaan yang meluap-luap, saya menulis di sini. Di negara kita, di Korea Selatan, hingga sekarang di Amerika Serikat.. Praktik seperti ini tidak pernah lepas dari sejarah. Remaja ditumbalkan mati lebih dulu agar pergerakan yang lebih besar dilakukan. Pergerakan ini untuk siapa? Menuntut ke mana? Bukan ini peran negara kan.. Bukan untuk takut pada rakyatnya kan.. Praktik praktik bodoh yang membuat mereka yang di atas duduk semakin tinggi dan yang di bawah harus berjongkok untuk bisa mengambil sekeping saja peruntungan. Negara ini ada untuk siapa?
Atau jangan-jangan, saat ini, sebenarnya kita sedang mengulang kembali sejarah? Apa harus menunggu ada remaja lain yang mati bagi kita untuk bergerak? Apa benar ketidakadilan memang tidak pernah terasa selama bukan kita yang diperlakukan dengan tidak adil?
Monday, 14 May 2018
Life: Episode Wisuda
Halo!
Ceritanya malam ini saya sedang bersihin folder-folder di laptop supaya lebih rapi. Terus saya nggak sengaja buka folder foto-foto wisuda. Jadi mikir banyak sih hahaha.
Yang pertama, wah time did fly so fast. Foto-foto wisuda ini diambil bulan Agustus 2016, hampir dua tahun yang lalu. Saya jadi mikir lagi, kok rasanya baru minggu lalu ya wisuda? Saya sudah buat apa saja di kehidupan paska-kampus saya? Sudah sejauh mana saya menjalani mimpi-mimpi yang saya gantung dulu? Ternyata semakin usia kita nambah, waktu benar-benar jadi hal yang luar biasa berharga. Apalagi saya lihat-lihat fotonya sambil mikir, si A dan si B yang saat itu foto sama saya sekarang di mana ya, kabarnya bagaimana ya. Padahal baru dua tahun ya, tapi sudah banyak yang lepas kontak :"
Renungan yang terlintas lagi adalah, wow, so so so many people care about me. Dan saya selalu lupa bersyukur untuk itu. Di foto-foto wisuda saya (diambil oleh adik saya yang suka candid), banyak sekali terekam wajah-wajah hangat dan pelukan-pelukan erat. Sungguhan deh, saya merasa disayang sama banyak orang. Bukan tentang banyaknya bunga dan hadiah yang saya dapat ya (meski saya juga suka bagian itu), tapi tentang ucapan perpisahan dari junior-junior, senior-senior, bahkan rekan kerja yang hanya pernah saya temui beberapa kali. Rasanya seolah saya memang bagian dari hidup mereka, seolah saya memberikan manfaat (meski sedikiiit sekali) di kehidupan-kehidupan lain.
Gosh, I really should be grateful...
Pelajaran moralnya, buat kalian yang merasa nggak berguna dalam hidup atau merasa nggak disayangi sama siapapun, kita nggak akan pernah tahu. Kita nggak akan pernah tahu siapa yang melihat kita saat berbuat apa. Kita nggak akan tahu kita membantu orang dalam bentuk apa dan seberapa besar kehadiran kita ternyata bermakna buat orang lain. Jadi be kind, for everyone we meet is fighting a hard battle (Ian McLaren). Jadi kita harus baik sama orang, nggak peduli apa, karena kita nggak tahu kapan kebaikan itu bakal balik ke kita. Kita nggak tahu kapan hidup kita ternyata bisa jadi inspirasi buat orang lain, sehina apapun hidup kita. Seperti kata Lee Hwi In dalam bukunya A Traveler's Read, someone's life may become another's scenery.
Yang terakhir, lihat-lihat foto kampus emang selalu bikin kangen berat!
Ceritanya malam ini saya sedang bersihin folder-folder di laptop supaya lebih rapi. Terus saya nggak sengaja buka folder foto-foto wisuda. Jadi mikir banyak sih hahaha.
Yang pertama, wah time did fly so fast. Foto-foto wisuda ini diambil bulan Agustus 2016, hampir dua tahun yang lalu. Saya jadi mikir lagi, kok rasanya baru minggu lalu ya wisuda? Saya sudah buat apa saja di kehidupan paska-kampus saya? Sudah sejauh mana saya menjalani mimpi-mimpi yang saya gantung dulu? Ternyata semakin usia kita nambah, waktu benar-benar jadi hal yang luar biasa berharga. Apalagi saya lihat-lihat fotonya sambil mikir, si A dan si B yang saat itu foto sama saya sekarang di mana ya, kabarnya bagaimana ya. Padahal baru dua tahun ya, tapi sudah banyak yang lepas kontak :"
Renungan yang terlintas lagi adalah, wow, so so so many people care about me. Dan saya selalu lupa bersyukur untuk itu. Di foto-foto wisuda saya (diambil oleh adik saya yang suka candid), banyak sekali terekam wajah-wajah hangat dan pelukan-pelukan erat. Sungguhan deh, saya merasa disayang sama banyak orang. Bukan tentang banyaknya bunga dan hadiah yang saya dapat ya (meski saya juga suka bagian itu), tapi tentang ucapan perpisahan dari junior-junior, senior-senior, bahkan rekan kerja yang hanya pernah saya temui beberapa kali. Rasanya seolah saya memang bagian dari hidup mereka, seolah saya memberikan manfaat (meski sedikiiit sekali) di kehidupan-kehidupan lain.
Gosh, I really should be grateful...
Pelajaran moralnya, buat kalian yang merasa nggak berguna dalam hidup atau merasa nggak disayangi sama siapapun, kita nggak akan pernah tahu. Kita nggak akan pernah tahu siapa yang melihat kita saat berbuat apa. Kita nggak akan tahu kita membantu orang dalam bentuk apa dan seberapa besar kehadiran kita ternyata bermakna buat orang lain. Jadi be kind, for everyone we meet is fighting a hard battle (Ian McLaren). Jadi kita harus baik sama orang, nggak peduli apa, karena kita nggak tahu kapan kebaikan itu bakal balik ke kita. Kita nggak tahu kapan hidup kita ternyata bisa jadi inspirasi buat orang lain, sehina apapun hidup kita. Seperti kata Lee Hwi In dalam bukunya A Traveler's Read, someone's life may become another's scenery.
Yang terakhir, lihat-lihat foto kampus emang selalu bikin kangen berat!
Saturday, 18 November 2017
Life: Episode Lomba Orasi
Jadi, tiba-tiba saya ingat cerita ini.
Dulu, waktu saya masih SMA (wow, it has been that long?) saya ikutan lomba nulis esai plus orasi. Jadi intinya peserta harus tulis esai di pleminary, terus sepuluh besar akan diumumkan untuk orasi. Kebetulan saya masuk sepuluh besar dan harus orasi. Di tempat orasinya, disediakan microphone untuk para orator. But being a stubborn person I am, I refused to use the mic and instead, I showed off my ability to be loud and clear without mic.
Tahu apa yang terjadi?
Ada tiga juri di sana. Sementara yang dua muji-muji saya, satu juri ini bilang dengan lembut, "Saya salut sama kamu yang mencoba untuk berbeda. Tapi akan lebih baik kalau kita tidak sombong dan bisa memanfaatkan semua resource yang ada".
And that stirred up my mind. Nempel di otak saya sampai sekarang.
Dulu, waktu saya masih SMA (wow, it has been that long?) saya ikutan lomba nulis esai plus orasi. Jadi intinya peserta harus tulis esai di pleminary, terus sepuluh besar akan diumumkan untuk orasi. Kebetulan saya masuk sepuluh besar dan harus orasi. Di tempat orasinya, disediakan microphone untuk para orator. But being a stubborn person I am, I refused to use the mic and instead, I showed off my ability to be loud and clear without mic.
Tahu apa yang terjadi?
Ada tiga juri di sana. Sementara yang dua muji-muji saya, satu juri ini bilang dengan lembut, "Saya salut sama kamu yang mencoba untuk berbeda. Tapi akan lebih baik kalau kita tidak sombong dan bisa memanfaatkan semua resource yang ada".
And that stirred up my mind. Nempel di otak saya sampai sekarang.
Subscribe to:
Posts (Atom)