Pages

Sunday, 7 June 2015

Week 3: Apa Fenomena Alam Favorit Kamu?

Ada satu teori (konsep mungkin ya lebih tepat) yang namanya Abiogenesis. Konsep ini awalnya dicetuskan oleh Aristoteles. Abiogenesis menyatakan bahwa makhluk hidup bermula dari benda mati. Aristoteles terinspirasi dari belatung yang muncul begitu saja dari daging yang sudah membusuk. Dan inilah fenomena alam favoritku, bukan tentang belatung, tapi tentang takdir.

Aku bukan orang yang percaya pada teori abiogenesis. Tidak ada di dunia ini yang tercipta secara spontan dan begitu saja. Aku percaya segala hal yang terjadi dan tercipta di dunia ini, diciptakan dengan memiliki satu tujuan. Mengapa ia diciptakan di sini, mengapa ia diciptakan begini. Ada alasan mengapa kita menjadi kita dan mengapa dia menjadi dia. Dan bagaimana ini semua bermula, adalah fenomena yang, mungkin bukan favorit, tapi aku suka memikirkannya.
Kira-kira satu tahun yang lalu, seorang dosen Pengantar Teori Kritis berkata pada salah satu sesi kuliah di kelas, "Kita muncul di dunia ini melalui sebuah proses keterlemparan. Kita tidak bisa memilih kita dilahirkan dimana dan menjadi anak siapa. Ketika kita memasuki kehidupan kita sama sekali tak berdaya dan segalanya sudah siap untuk kita jalani. Tapi dalam menjalani kehidupan, ada pilihan-pilihan yang harus kita buat, dan proses memilih inilah yang membuat kita bermakna sebagai manusia"

Konsep keterlemparan yang dikatakan dosenku itu, aku setuju sekali. Ini yang dalam Islam disebut Qadha kan? Segala hal yang tidak bisa kita tentukan. While ada yang namanya Qadhar, sama-sama takdir, fate, hanya saja kita bisa bebas menentuka takdir kita sendiri. Inilah yang membuat hidup kita bermakna, pilihan-pilihan kita itu.

Saturday, 30 May 2015

Week 2: Apa lima film favorit kamu?

"Nggak boleh drama atau TV series nih?"
"Nggak lah, harus film as in movie"

Jadi, ini adalah challange ke dua ku. So, here we go.

Wednesday, 20 May 2015

21 Week Writing Challnge

Ada yang bilang kalau membentuk kebiasaan harus dimulai dengan melakukannya terus-menerus secara rutin, selama dua puluh satu kali. Jadi, here we go, berusaha menumbuhkan lagi kebiasaan menulis yang sudah mati bertahun lalu dibunuh keasyikan berkegiatan dan bermedia. Seorang sahabat berbaik hati membantu mengkultivasi kebiasaan ini dengan 21 week writing challange.

Aturan

Peraturannya mudah, setiap minggu, selama 21 pekan, sahabatku itu akan memberikan topik untuk dipikirkan dan ditulis pada pekan tersebut. Topiknya apapun, selama dalam jagad imajinasi sahabatku itu. Kamu bisa mengikuti postingan challange-ku itu dengan label "21 week writing challange".

Berhasilkah?

Pekan pertama baru saja dilewati, untuk bisa menulis seperti itu, aku harus banyak merenung, harus berjuang menyisihkan waktu untuk menulis, harus membaca, dan belajar lagi menuliskan abstraksi ide dalam kata-kata yang bisa dipahami orang lain. Jadi, bisa aku klaim bahwa ini cukup berhasil. Tapi penentuan berhasil tidaknya bukan terletak pada post pertama, bukan? Melainkan pada post yang tidak pernah berakhir nanti (amin).

Jadi?

Selamat malam :)

Week 1: Mencintai (Tuhan) Dengan Ikhlas

Mungkinkah? Manusia mencintai dengan ikhlas?
Berbulan yang lalu, aku menulis dalam sebuah pos di blog ini, mengenai cinta. Dan apa yang kutuliskan kala itu ku dengungkan terus menerus. Dimanapun, karena aku mempercayainya hingga kini. Aku mengatakan bahwa cinta adalah energi positif. Apapun yang membuatmu mau melakukan hal-hal, yang irasional sekalipun, dengan positif, itu adalah cinta. Pada teman, pada benda, pada manusia, siapapun (atau apapun) yang bisa memberi kita energi positif adalah cinta. Maka bohong bila atas dasar cinta, seorang ibu membunuh anaknya. Seorang kekasih membuat pujaan hatinya tenggelam dalam kesedihan, dan seorang murid membuat gurunya murka. Itu bukan cinta namanya, itu adalah bagian dari diri kita yang bersalah dan berusaha menghilangkan disonansi kognitif yang terjadi.

Sunday, 5 April 2015

Pulang

Ini sebuah novel, karya Leila S. Chudori. Ceritanya unik, tentang peristiwa G30S yang mengakibatkan empat orang wartawan dari Indonesia yang diduga dekat dengan "kiri" melarikan diri ke Peking hingga ke Paris. Tentang salah satu dari empat sahabat itu, Dimas Suryo, bagaimana hatinya tertinggal di Indonesia, tertambat pada sekuntum melati yang telah dipetik sahabatnya sendiri, bagaimana Dimas akhirnya bertemu Vivienne, bait puisi yang telah ia genapkan dan bagaimana ia memiliki Lintang sebagai putri tunggalnya.

Yang membuatku merasa novel ini unik adalah, bagaimana cerita yang bergulir dari tahun 1965 hingga 1998 ini dituturkan oleh Dimas dan Lintang. Dan menarik bagaimana mereka menarik pemahaman pada apa yang mereka saksikan dan rasakan. Dan aku sampai pada satu kesimpulan,

"Orangtua adalah yang paling mengenal anaknya, menyaksikan mereka tumbuh, menanamkan banyak hal yang membuat anak mereka what they are today. Tapi sang anak, tidak pernah mengenal orangtuanya. Seberapapun ia tumbuh bersama orangtua, sang anak tidak pernah tahu what makes their parents today. Sang anak tak pernah terlibat dalam masa lalu penuh cerita, penuh duka. Ketersinggungan-ketersinggungan, rasa bersalah, secuil kecil hati yang hilang... Lantas apa yang bisa diberikan oleh anak untuk orangtuanya? Dalam ketidakpahaman?"

While I read this thing I come to recognize that as a daughter I haven't do much for my parents. Well, everybody does. But even the small thing I could do, seperti pemahaman aja belum dilakukan dengan sempurna. Yang ada cuma gerutuan dan enggan yang bahkan tidak pernah coba disembunyikan. Lantas, seperti Lintang, apakah nanti aku siap jika orangtuaku akan pulang? Apakah pemahaman akan mereka justru datang terlambat setelah sudah tidak bisa lagi aku melihat apa yang mereka lakukan?

Anak memang belum pernah menjadi tua, dan kesalahan orangtualah bila melupakan bagaimana rasanya menjadi anak muda (Dumbledore). Tapi tidak ada salahnya kan ketika anak mencoba memahami orangtuanya?