Friday, 6 February 2015
Hmm
Yeah, we cannot please everybody. In the end, how hard we try, how much hurt we got when we try to do something people expect us to do, there'll always be something missing in people's eyes. They never see us as a whole and accept it as it is, as well as we to them. The thing is, if we just going to pile those dislikeness and built up a castle around us, being defensive, it is not going to work. it will never going to work.
Then what should we do?
The Lord Of The Rings (by JRR Tolkien)
Aku mengenal novel ini bersama Narnia Series (CS Lewis), Lima Sekawan (Enid Blyton), dan Harry Potter (JK Rowling) tentunya, saat berada di bangku Sekolah Dasar. Dulu, sewaktu masih cupu dan suka-sukanya baca novel high fantasy, Harry Potter jelas jadi favorit (sekarang juga masih) karena ceritanya yang cenderung ringan dan menyimban banyak pesan. Tapi sekarang, semenjak belajar lebih banyak, membaca lebih banyak, ngobrol lebih banyak dibanding waktu SD, oh my God. This novel is so damn good. Tolkien was not create a novel, he create a world.
Dan inilah menurutku, the real meaning of high fantasy. He create a whole new world, that middle-earth thing he wrote were such a world that every character live, has it's own history, has it's own name, has it's own meaning, and have a little portion of contribution for the plot to keep being interesting.
Dalam middle-earth, kamu akan menjumpai hobbit, dwarf, wizard, elf, ent, troll, orcs, goblin, men. Dan semua makhluk ini memiliki sejarahnya masing-masing. Memiliki ceritanya masng-masing. Memiliki asal-usul dan silsilah keluarganya masing-masing. Bahkan, memiliki bahasanya masing-masing. Tolkien dengan sangat apik menceritakan siapa mereka, darimana mereka berasal, bagaimana keturunannya, bagaimana garis waktunya. Tolkien bahkan menuangkan puisi, kebiasaan khas, dan corak budaya setiap makhluk ini dengan detail, dan nyata. Seolah-oleh middle-earth begitu dekat dengan kita.
Menurutku, Tolkien tidak hanya mencipta sebuah novel, itu adalah karya sastra, sebuah dunia.
"Tidak ada segala sesuatu di bumi ini yang jahat pada awalnya. Bahkan Sauron pun, tidak bermula seperi itu" -JRR Tolkien
Wednesday, 21 January 2015
Sudah Lama ya, tidak menulis
Iya sudah lama sekali blog ini tidak ter-update. Bagaimana kabarku?
Aku sekarang seorang ENFP. Yang jarak antara E dan I nya kecil sekali. Yang mau tau apa itu ENFP atau mau test sekalian bisa di sini. Aku sekarang dua puluh tahun, dan masih sok tau, masih sombong, dan masih jadi anak kedua ibuku.
Aku sekarang bekerja, bukan benar-benar kerja sih, cuma jadi tenaga magang di pusat kajian komunikasi Universitas Indonesia. Mungkin kedepannya aku akan banyak bercerita soal temuanku disini (karena, yes, aku memutuskan akan banyak menulis lagi). Pekerjaan magangku terikat satu project penelitian, dan aku bekerja bersama orang-orang yang luar biasa. Mereka sudah dewasa, hampir tiga puluhan, dan mereka masih memiliki idealisme yang sangat tinggi tentang bagaimana sitem yang baik seharusnya berjalan. Ah, aku belajar banyak bersama orang-orang ini. Di Puska, aku dibayar, tidak seberapa memang, tapi cukup untuk menjadi sumber pendanaan BEM setahun ke depan.
Ya, aku ada di BEM lagi. Entahlah, sepertinya BEM sudah jadi zona nyaman yang baru. terjebak dalam ilusi aku sedang berbuat sesuatu disini. Terjebak dalam bayangan bahwa aku bertemu orang-orang hebat disini. Tapi aku memang menyayangi BEM yang sudah jadi rumah di Depok ini. Mungkin kata orang aku hanya buang-buang waktu, tapi sangat menyenangkan melihat orang berkembang kan? Dan aku menemukannya disini.
Aku sekarang adalah anak semester enam. Sudah dua semester ada di peminatan Kajian Media. Ini semseter ketigaku. Aku belajar apa? Banyak sekali. Yang paling penting adalah bagaimana media begitu sangat berpengaruh, dan bagaimana harusnya kita memandang media. Bagaimana melihat segala hal dengan god-eye-view dan belajar untuk tidak mengenaralisir segala hal. Dan yah, sama seperti mahasiswa pada umumnya, aku memiliki dosen favorit di peminatan ini. Satu sejauh ini, berpotensi menjadi dua dosen favorit. Dan sekarang aku kerap membayangkan akan menjadi seperti mereka, mengajar, dan bahagia.
Sekarang aku masih tinggal di kontrakan, bersama teman sekamar yang sudah berganti, Alwiyah namanya, mahasiswa psikologi angkatan 2012. Dia bertolak belakang denganku dalam banyak hal, tapi aku tidak menyesal membagi kehidupan bersama Yaya di kamar kami yang kecil itu.
Jadi, inilah Bestari. Dan selamat menikmati tulisan-tulisan yang akan datang tentang Bestari yang sekarang.
Salam peace, love, and gaol.
Aku sekarang seorang ENFP. Yang jarak antara E dan I nya kecil sekali. Yang mau tau apa itu ENFP atau mau test sekalian bisa di sini. Aku sekarang dua puluh tahun, dan masih sok tau, masih sombong, dan masih jadi anak kedua ibuku.
Aku sekarang bekerja, bukan benar-benar kerja sih, cuma jadi tenaga magang di pusat kajian komunikasi Universitas Indonesia. Mungkin kedepannya aku akan banyak bercerita soal temuanku disini (karena, yes, aku memutuskan akan banyak menulis lagi). Pekerjaan magangku terikat satu project penelitian, dan aku bekerja bersama orang-orang yang luar biasa. Mereka sudah dewasa, hampir tiga puluhan, dan mereka masih memiliki idealisme yang sangat tinggi tentang bagaimana sitem yang baik seharusnya berjalan. Ah, aku belajar banyak bersama orang-orang ini. Di Puska, aku dibayar, tidak seberapa memang, tapi cukup untuk menjadi sumber pendanaan BEM setahun ke depan.
Ya, aku ada di BEM lagi. Entahlah, sepertinya BEM sudah jadi zona nyaman yang baru. terjebak dalam ilusi aku sedang berbuat sesuatu disini. Terjebak dalam bayangan bahwa aku bertemu orang-orang hebat disini. Tapi aku memang menyayangi BEM yang sudah jadi rumah di Depok ini. Mungkin kata orang aku hanya buang-buang waktu, tapi sangat menyenangkan melihat orang berkembang kan? Dan aku menemukannya disini.
![]() |
Pose Mega ala BPH BEM FISIP UI 2014 ^^ |
![]() |
Bersama squad kamed 2012 |
Aku sekarang adalah anak semester enam. Sudah dua semester ada di peminatan Kajian Media. Ini semseter ketigaku. Aku belajar apa? Banyak sekali. Yang paling penting adalah bagaimana media begitu sangat berpengaruh, dan bagaimana harusnya kita memandang media. Bagaimana melihat segala hal dengan god-eye-view dan belajar untuk tidak mengenaralisir segala hal. Dan yah, sama seperti mahasiswa pada umumnya, aku memiliki dosen favorit di peminatan ini. Satu sejauh ini, berpotensi menjadi dua dosen favorit. Dan sekarang aku kerap membayangkan akan menjadi seperti mereka, mengajar, dan bahagia.
Sekarang aku masih tinggal di kontrakan, bersama teman sekamar yang sudah berganti, Alwiyah namanya, mahasiswa psikologi angkatan 2012. Dia bertolak belakang denganku dalam banyak hal, tapi aku tidak menyesal membagi kehidupan bersama Yaya di kamar kami yang kecil itu.
![]() |
With Mega @ balai agung |
Jadi, inilah Bestari. Dan selamat menikmati tulisan-tulisan yang akan datang tentang Bestari yang sekarang.
Salam peace, love, and gaol.
Friday, 29 August 2014
Taken for Granted
Aku sudah lama mengenalmu. Terlalu lama. Dulu, hal-hal kecil yang kita lakukan seperti saling menemukan, atau saling menanyakan apa kabar menjadi hadiah yang dapat mempertahankan mood sepanjang hari. Dulu, ketika kamu ada dan tidak pergi, merupakan suatu hal yang patut untuk disyukuri, harus disyukuri.
Tapi semakin waktu tertumpuk, semakin kisah kita terbentuk, lucunya, bukan rasa syukur atau rasa cinta yang semakin besar. Alih-alih hal itu, justru ketidaksabaran, kemarahan, dan keegoisan yang terlihat semakin besar. Semakin waktu bertumpuk menyesakkan kita, semakin kita menginginkan lebih. Tidak cukup hanya dengan sapaan apa kabar. Tidak cukup hanya dengan mengerti. Tidak cukup hanya dengan ada. Ah, manusia memang serakah..
Seiring waktu yang menumpuk mengungkung kita, kita lupa untuk bersyukur. Lupa untuk menyenandungkan terima kasih dalam hati untuk hal-al kecil yang kita lakukan untuk satu sama lain.
Terima kasih telah mengerti. Terima kasih untuk kadonya. Terima kasih untuk doanya. Terima kasih kita telah bertemu. Terima kasih telah ada.
Seiring waktu berjalan dan kenangan semakin panjang, kita menerima segalanya. Taken for granted. Lupa bahwa mulanya tidak begitu adanya. Mungkin itu yang membuat manusia meninggalkan. Karena akhirnya, segala sesuatu dianggap terjadi karena sewajarnya memang begitu. Mungkin itu sebabnya manusia meninggalkan, karena mereka lupa untuk terus mengucapkan terima kasih. Karena mereka lupa, bahwa justru, hal-hal kecil yang mereka sepelekan itulah yang membuat mereka kini ada.
Tapi semakin waktu tertumpuk, semakin kisah kita terbentuk, lucunya, bukan rasa syukur atau rasa cinta yang semakin besar. Alih-alih hal itu, justru ketidaksabaran, kemarahan, dan keegoisan yang terlihat semakin besar. Semakin waktu bertumpuk menyesakkan kita, semakin kita menginginkan lebih. Tidak cukup hanya dengan sapaan apa kabar. Tidak cukup hanya dengan mengerti. Tidak cukup hanya dengan ada. Ah, manusia memang serakah..
Seiring waktu yang menumpuk mengungkung kita, kita lupa untuk bersyukur. Lupa untuk menyenandungkan terima kasih dalam hati untuk hal-al kecil yang kita lakukan untuk satu sama lain.
Terima kasih telah mengerti. Terima kasih untuk kadonya. Terima kasih untuk doanya. Terima kasih kita telah bertemu. Terima kasih telah ada.
Seiring waktu berjalan dan kenangan semakin panjang, kita menerima segalanya. Taken for granted. Lupa bahwa mulanya tidak begitu adanya. Mungkin itu yang membuat manusia meninggalkan. Karena akhirnya, segala sesuatu dianggap terjadi karena sewajarnya memang begitu. Mungkin itu sebabnya manusia meninggalkan, karena mereka lupa untuk terus mengucapkan terima kasih. Karena mereka lupa, bahwa justru, hal-hal kecil yang mereka sepelekan itulah yang membuat mereka kini ada.
Thursday, 21 August 2014
Kosong
Ada satu bagian dalam ilmu komunikasi yang mengumpamakan manusia layaknya lapis-lapis bawang. Berlapis-lapis, dengan kelebaran tertentu, dan pada dasarnya dibalik lapisan-lapisan rumit itu, manusia tak lebih dari sebuah....... apa? kekosongan?
Mungkin kekosongan inilah yang kita kenal dengan tujuan hidup.
Dan selama kita belum bisa menentukannya, maka kekosongan ini akan tetap kosong dan tak terlihat. Hanya ditutupi oleh kepalsuan-kepalsuan lapis-lapis bawang. Hanya dilindungi oleh kelebaran jati diri yang dibentuk--tanpa tahu untuk apa. Atau mungkin sebagian sudah merasa tahu, apa yang diwakili kekosongan ini. Tanpa sadar bahwa bisa saja tujuan itu hanyalah semu. Fatamorgana yang diciptakan sejalan dengan ambisi hidup yang bermunculan. Tujuan hidupnya ada di sana, ya, tapi hanya untuk waktu sementara. Hanya untuk menjawab beberapa pertanyaan. Tapi tidak menjawab semua pertanyaan yang muncul dari jawaban itu.
Sebagian lain sudah mengisi kekosongan dengan Dzat yang solid. Yang tak tergoyahkan, yang siap untuk diyakini. Tapi ternyata lapis-lapis bawangnya tidak merepresentasikan tujuan hidupnya. Kamu tahu? Seperti berharap pergi ke Rinjani tapi kamu memilih jalan ke arah Sumatra. Kekosongan yang solid ini, bukan lagi tertutup oleh lapis-lapis kepalsuan, tapi sudah tersembunyikan oleh kebohongan besar.
Apa yang dicari manusia?
Untuk bisa mengerti dirinya sendiri, manusia terus menjelajah lapisan bawang. Satu per satu. Dan ketika lapisannya sudah terkupas habis, apa yang ditemukan manusia sebagai intinya?
Apa yang dicari manusia?
Pada mulanya manusia memang hanya lapisan kosong.. Pada akhirnya, terserah padamu akan mengisi kekosongan ini dengan apa
Mungkin kekosongan inilah yang kita kenal dengan tujuan hidup.
Dan selama kita belum bisa menentukannya, maka kekosongan ini akan tetap kosong dan tak terlihat. Hanya ditutupi oleh kepalsuan-kepalsuan lapis-lapis bawang. Hanya dilindungi oleh kelebaran jati diri yang dibentuk--tanpa tahu untuk apa. Atau mungkin sebagian sudah merasa tahu, apa yang diwakili kekosongan ini. Tanpa sadar bahwa bisa saja tujuan itu hanyalah semu. Fatamorgana yang diciptakan sejalan dengan ambisi hidup yang bermunculan. Tujuan hidupnya ada di sana, ya, tapi hanya untuk waktu sementara. Hanya untuk menjawab beberapa pertanyaan. Tapi tidak menjawab semua pertanyaan yang muncul dari jawaban itu.
Sebagian lain sudah mengisi kekosongan dengan Dzat yang solid. Yang tak tergoyahkan, yang siap untuk diyakini. Tapi ternyata lapis-lapis bawangnya tidak merepresentasikan tujuan hidupnya. Kamu tahu? Seperti berharap pergi ke Rinjani tapi kamu memilih jalan ke arah Sumatra. Kekosongan yang solid ini, bukan lagi tertutup oleh lapis-lapis kepalsuan, tapi sudah tersembunyikan oleh kebohongan besar.
Apa yang dicari manusia?
Untuk bisa mengerti dirinya sendiri, manusia terus menjelajah lapisan bawang. Satu per satu. Dan ketika lapisannya sudah terkupas habis, apa yang ditemukan manusia sebagai intinya?
Apa yang dicari manusia?
Pada mulanya manusia memang hanya lapisan kosong.. Pada akhirnya, terserah padamu akan mengisi kekosongan ini dengan apa
Subscribe to:
Posts (Atom)