Pages

Tuesday, 23 April 2019

Life: Episode Buku

Setiap kali ditanya, apa hobinya? Saya nggak pernah ragu buat jawab, "baca buku!". Meskipun belakangan ini malu ngakunya karena udah jarang sekali baca buku. Tetap, buku jadi bagian yang sangat sangat penting dalam membentuk identitas saya.

Rak buku saya yang super penuh dan debuan. Isinya sekitar 200 buku.


Sejujurnya, saya nggak pernah ingat apa buku pertama yang saya baca atau apa buku pertama yang saya pilih sendiri. Orang tua saya berulang kali selalu bilang, "Bawa Tari keluar selalu ngerepotin karena dia ngerengek minta pulang. Kecuali kalau dikasih buku, pasti langsung diem." hahahaha. Punya dua orang tua yang kerja sebagai guru mungkin jadi faktor utama kenapa saya suka sekali sama buku. Dari kecil, suplai buku saya nggak pernah berhenti.  Selalu ada aja yang dibawa orang tua pulang. Dan isinya selalu macam-macam, mulai dari cerita detektif, dongeng, fabel, sejarah, sampai buku percobaan sains. Hampir semuanya dibawakan bukan untuk dipunyai, cuma lewat saja, minjam dari perpustakaan. Waktu itu, beli buku adalah kemewahan, dan keluarga saya belum punya kemewahan itu.

Paling ingat sewaktu dibelikan set buku dongeng lengkap sama istana kertasnya. Ada dua belas buku! Dan semuanya nggak perlu dikembalikan karena itu punya kami. Waktu itu saya belum bisa baca. Tapi saya suka minta dibacakan sama kakak atau orang tua. Lantas ceritanya saya teruskan ke teman-teman di rumah. Harap dicatat ya, saya belum bisa baca, jadi saya cuma bluffing aja pura-pura baca. Padahal saya hafal ceritanya, atau nggak, saya karang sendiri berdasarkan gambarnya. Teman-teman saya percaya aja tuh. Akhirnya, waktu saya umur empat tahun (kira-kira) dan mulai bisa baca sendiri, saya tercenung-cenung karena akhirnya tau cerita dongeng yang benar, bukan karangan, hahaha. Mungkin karena saya segitunya suka buku ya, akhirnya di antara teman-teman, saya yang paling cepat bisa baca. Dan saya pilih-pilih kalau sayang sama keluarga besar berdasarkan ada buku di rumahnya atau tidak. Logika anak kecil.

Salah satu buku pertama yang saya baca sebelum masuk SD


Waktu saya SD, saya mulai ketemu beberapa teman yang hobi baca juga. Biasanya kami nongkrong di perpustakaan sepulang sekolah. Sekolah saya ada di pinggiran Surabaya, jadi akses ke perpustakaan daerah cukup sulit, adanya ya perpustakaan sekolah yang bukunya terbatas sekali. Saya masih ingat buku favorit saya dulu judulnya SIM-B, ceritanya tentang anak yang ingin pelihara binatang tapi nggak boleh sama ibunya. Jadi dia lampiaskan lewat hobi koleksi figur dinosaurus. Saya jadi tau banyak tentang dinosaurus dari buku itu. Akhirnya ibunya ngasih anak ini SIM-B, Surat Izin Memelihara Binatang, dan si bocah pelihara iguana karena mirip dinosaurus.

Waktu SD juga saya mulai kenal sama komik. Detektif Conan jadi komik pertama yang saya baca. Sungguhan deh, dulu saya iri sekali sama teman yang bisa koleksi Conan. Kerjaan saya kalau nunggu jemputan adalah ke rumah temen saya itu dan nimbrung baca Conan berjam-jam. Waktu kelas 3-4 juga saya masuk siang, sehingga paginya saya ikut bapak ke tempat beliau ngajar. Biasanya saya di perpustakaan, baca buku meski sebagian besar isinya buku pelajaran. Saya paling suka baca buku bahasa dan PPKn waktu itu.

Koleksi komik saya yang super sedikit, ini pun dikasih teman set miiko-nya.


Waktu SMP saya sekolah di pusat surabaya. Ketemu teman-teman yang punya privilege untuk mengakses buku dengan mudah karena jarak dan uang, membantu saya tahu lebih banyak tentang buku-buku populer. Perpustakaan sekolah juga jauh lebih besar dibanding waktu SD dan saya suka kabur ke perpustakaan dibanding ikut class meeting. Kartu perpustakaan saya penuuuh sekali dulu. Dan saya selalu bangga kalau saya pinjam buku yang jarang dipinjam orang. Waktu SMP inilah saya mulai baca novel klasik, mulai dari karya Arthur Conan Doyle, Marga T, NH Dini, Hilman, sampai buku-buku yang muncul potongannya di buku pelajaran macam Siti Nurbaya. Saya juga mulai berani beli buku sendiri dengan nabung (mengingat saya boros, ini patut dicatat sebagai prestasi!). Masih ingat dulu saya bela-belain jalan kaki ke kios di Tidar buat beli naruto atau conan.

Saat SMA minat baca saya mulai turun. Bukan cuma karena saya lebih senang ikut kepanitiaan, tapi juga karena buku pertama yang saya pinjam dari perpustakaan sekolah, saya kembalikan di hari saya lulus, makanya saya takut sekali masuk perpustakaan sekolah. Kalau dipikir sekarang, mungkin juga saya malas baca buku waktu SMA karena saya mati-matian belajar. Kalau sebelumnya waktu belajar saya pakai buat baca buku, waktu SMA, saya belajar aja masih nggak paham. Tapi saya ketemu sama lebih banyak teman yang suka baca dan dikenalkan dengan aliran-aliran pop macam Ika Natassa, Ayu Utami, Andrea Hirata, dan kawan-kawan.

Dua bagian rak yang isinya buku-buku paling favorit saya.


Kemudian waktu saya duduk di bangku kampus dan mengalokasikan keuangan saya sendiri, saya baru mulai liar beli buku. Kalap. Sungguhan. Sebagian besar buku yang saya beli adalah buku-buku yang dulu pernah saya baca dan saya suka sekali. Sebagian alasannya karena saya payah dalam pilih buku tanpa rekomendasi, sebagian lagi karena saya ingin koleksi buku-buku pinjaman yang dulu saya sayang.

Buku paling tua yang saya punya. Beli di braga karena iseng.


Jadilah sampai sekarang koleksi buku saya nggak banyak-banyak amat untuk ukuran orang yang suka baca buku. Dan semakin ke sini saya juga semakin jarang baca buku karena main hp dan baca fanfiction lebih seru. Banyak buku-buku saya yang belum saya baca, padahal setiap hari mereka lambai-lambai tanpa dosa minta dibaca. Tetap, sampai sekarang pun saya belum selesai memburu buku-buku lama yang dulu membuat saya ter-aah dan ter-oooh. Saya masih bercita-cita untuk bisa koleksi buku, minimal sebanyak buku Yusaku Kudo. Supaya nanti anak saya bisa punya privilege baca buku tanpa khawatir, dan tanpa batas.

Jadi begitulah, kenapa sampai sekarang saya selalu bilang hobi saya baca meski sudah sangat jarang dilakukan. Karena kalau dilihat ke belakang, saya nggak pernah suka sesuatu sampai sebegininya saya suka sama buku. Dan ketika ada teman yang menjadikan buku adalah bagian dari identitas saya, saya bangga luar biasa.

Saya lagi suka nitip dibelikan buku dongeng lokal kalau ada teman yang lagi di luar negeri


Untuk semua yang suka buku juga, selamat hari buku sedunia!

Sunday, 14 April 2019

Filosofi Jalan

Berhubung saya melewatkan hampir dua tahun pegang kemudi motor di Surabaya, saya jadi semakin yakin bahwa hidup itu seperti jalanan, seperti ocehan saya dulu tentang filosofi jalan. Bukan cuma tentang ke mana tujuan kita dan jalan mana yang kita ambil, jalanan benar-benar seperti versi mini kehidupan!

Ada aturan-aturan rumit yang dipermudah tapi tetap saja dilanggar. Ada berbagai macam kendaraan yang bisa dipakai di jalan, ada banyak cara berpergian: entah itu sendirian atau berombongan, atau cukup berdua saja. Bahkan dalam mencapai tujuan pun, ada yang langsung terfokus, tapi nggak sedikit yang berhenti di beberapa tempat sebelum mencapai tujuan akhirnya.

Satu hal penting yang saya perhatikan, dan patut disyukuri, baik di jalanan maupun dalam hidup adalah: modal. Kalau dilihat di jalanan, modal ini bisa diartikan dengan apa jenis kendaraan yang kamu bawa? Dan seberapa dekat kamu dari tujuan kamu? Untuk mengartikan modal ini tidak linear sama sekali. Orang yang bermodal sepeda bisa jadi lebih menderita dibandingkan yang bermobil bila cuaca jadi variabelnya. Tapi yang bersepeda memiliki keuntungan mutlak yang tidak dipunyai yang bermobil: agility. Masalah jarak juga demikian. Katakanlah semua ada di rumah dan bertujuan ke sekolah. Yang berada lebih dekat bisa jadi punya kesempatan sampai duluan lebih banyak, tapi juga bisa jadi punya kesempatan telat lebih banyak karena meremehkan. Kesimpulannya, modal hanya modal. Perkara bagaimana digunakan untuk mencapai tujuan akan sangat bergantung pada bagaimana pengedaranya memanfaatkan.

Begitu juga dengan hidup. setiap orang punya modalnya sendiri. Kecerdasan, pendidikan, jaringan dan kesempatan, bahkan keberuntungan. Setiap orang punya takarannya masing-masing. Yang satu bisa jadi punya modal lebih banyak dibanding yang lain, tapi bukan berarti keuntungannya lebih banyak. Bagaimana memanfaatkan modal yang kita punya sebaik-baiknya untuk membantu kita mencapai tujuan adalah hal yang penting sekali. Mungkin inilah sebabnya orang-orang bilang bahwa pekerja keras akan selalu bisa mengalahkan orang cerdas. Terbukti sekali. Saya jadi buktinya dan pembuktiannya sakit sekali.

Hal lain yang menarik untuk diperhatikan di jalan adalah kecelakaan. Ngeri ya? Tapi terjadi. Dalam hidup juga begitu, kcelakaan terjadinya tidak pilih-pilih. Terduga? Mungkin. Bisa dihindari? Bisa jadi. Selagi mengamati kecelakaan di jalan, saya jadi menyimpulkan bahwa ada dua hal penting yang harus digunakan supaya kita selamat dari sebagia besar kecelakaan.

Yang pertama adalah mawas pada kondisi sekitar. Di jalan, kita bekendara tidak sendirian. Bisa jadi cara kita aman, tapi kecelakaan bisa terjadi karena kita tidak sadar orang lain sedang serampangan. Penting untuk selalu awas pada kondisi sekitar untuk bisa berkendara dengan selamat. Penting untuk punya indera keenam dan memprediksi ibu-ibu yang akan belok ke kiri meski lampu sen nya menyala ke kanan. Pun dalam hidup. Kita hidup tidak sendiri, maka penting untuk memantau orang-orang lain, dinamika-dinamika lain, supaya kita tahu ketika ada bahaya. Dan yang paling penting, supaya kita bisa membantu orang-orang yang sedang dalam bahaya juga. Contoh sederhana nih ya, penting punya insting dan informasi tentang uang panas di kantor supaya kita tidak kecipratan mudharatnya.

Faktor kedua supaya terhindar dari kecelakaan adalah, kontrol diri. Sudah tahu nih ibu-ibu di depan akan belok kiri tapi kalau kita tidak bisa mengontrol diri untuk rem dan menghindar ya buat apa. Sudah tahu nih bahaya karena lampu lalu lintas sudah kuning, tapi kita tidak bisa mengontrol diri untuk berhenti ya buat apa. Sama persis seperti dasar-dasar bertahan hidup, lihat situasinya, lalu bertindak sesuai dengan yang diperlukan. Dalam hidup, kontrol diri itu luar biasa pentingnya. Karena manusia lebih sering menuruti otak monyetnya kan? Untuk makan lebih banyak, untuk tidur lebih banyak, untuk menunda sehari lagi saja, untuk menyelipkan bon tiga puluh ribu saja, untuk pegangan tangan sekali saja, untuk membiarkan pikiran jahat menyelebung sekali lagi saja. Semuanya tentang kontrol diri. Dan yang lucu dari kontrol diri adalah, kita tidak pernah sadar kapan kehilangan kontrol. Karena itu, penting untuk terus evaluasi, untuk terus melihat lagi ke rambu-rambu yang telah dituliskan untuk kita, untuk membangun kemampuan berpikir cepat dan bertindak cepat.

Karena bukan cuma mengemudi yang butuh skill dan jam terbang, hidup juga.

Dan karena jalanan adalah cerminan hidup, kita selalu bisa melihat sisi terbaik dan terburuk seseorang lewat bagaimana dia menghadapi jalanan ;)

Tentang Menjaga Hubungan

Beberapa bulan lalu, atau mungkin beberapa tahun lalu, entahlah, saya ngobrol sama seorang teman. Dia bilang kalau dalam hubungan persahabatan dia selalu ada yang ngasih lebih banyak. Hubungan dengan si A misalnya, teman saya ini lebih banyak ngasih. Sementara dengan si B, teman saya lebih banyak diam dan menerima.

Definisi ngasih dan nerima ini bisa jadi banyak hal, mulai dari cerita-cerita, ungkapan kasih sayang, perhatian, dan sebagainya dan sebagainya. Menariknya, semua hubungan ini tetap berjalan dengan baik-baik saja karena memang ekspektasinya sudah terpeta. Dan kedua belah pihak sama-sama paham. Misalnya saja, saya nggak akan berharap blueberry tanya kabar saya duluan karena dalam hubungan kami, saya yang tanya duluan. Atau, saya tidak akan kaget kalau alpukat tiba-tiba kirim hadiah ke rumah karena begitulah hubungan kami.

Dalam hubungan antar-pribadi, dua belah pihak punya pengalaman yang sama dalam menjalani hubungan diantara mereka. Jadi, ekspektasinya sudah terpeta. Dan bukankah hubungan yang paling baik adalah hubungan yang keduanya memahami ekspektasi satu sama lain? Tidak ada tuh istilah harapan palsu dalam hubungan yang sehat karena tidak main kucing-kucingan. Ekspektasinya jelas, jadi tidak ada kekecewaan.

Ironisnya, kadang adanya pemahaman ini membuat kita jadi menganggap remeh makna seseorang dalam hidup kita. Adanya pemahaman bahwa orang lain memang tidak akan berusaha lebih dulu kadang membuat kita bertanya, apa artinya kita memperjuangkan sendirian? Ironisnya, meskipun ada pemahaman, hubungan di mana yang satu memberi lebih banyak dibanding yang lain, justru membuat hubungan itu sendiri rapuh. Karena hubungan itu seperti cermin, seperti gaya, kita baiknya menerima sebanyak yang kita beri.

Saya pernah menulis di blog ini bahwa sebanyak apapun kita memberi cinta, kasih sayang, semuanya akan kembali meski tidak dengan cara yang sama. Meski tidak melalui orang yang sama. Ini berlaku untuk semua jenis hubungan ya. Termasuk untuk hubungan keluarga, yang paling kuat pemahamannya, tapi mungkin menjadi yang paling rapuh karena tidak pernah dipelihara.

Intinya, hubungan yang sehat memang bermula dari pemahaman, tapi hubungan yang sehat juga harus diiringi dengan usaha satu sama lain untuk memberikan perjuangan dan keringat yang sama dalam menjaga hubungan. Supaya suatu saat ketika kita tidak lagi ketemu dengan sahabat atau mantan kita, bukan kita sendiri yang hatinya sakit saat duduk di kafe yang biasa didatangi bersama.

Mungkin inilah kenapa orang dewasa punya sedikit teman ya. Menjaga hubungan itu super susah!