Pages

Wednesday, 20 November 2019

Catatan Spesial: Menjadi Guru

"Kalau nanti sudah gede, jangan jadi guru ya"

Begitu kata orang tua saya yang keduanya adalah guru. Dikelilingi sama sepupu-sepupu dan pakde bude dan orang tua yang sebagian besar adalah guru, saya (dan kakak saya) jadi menjauhkan 'guru' dari daftar impian kami. Kakak saya dulunya pingin jadi dokter anak, jadilah dia masuk kedokteran. Saya dulu pingin jadi presenter acara kuliner, jadilah masuk komunikasi.

Tapi dasar memang yang namanya darah nggak bisa bohong. Ujung-ujungnya kakak saya lebih suka ngedosen daripada praktik. Dan saya terdampar jadi guru untuk anak-anak istimewa.

Keterdamparan yang sangat saya syukuri.

Alat perang yang dikasih di hari pertama sebagai guru

Dulu, sewaktu sekolah, buat saya nggak ada yang istimewa dengan guru. It's just a job. Taken for granted. Nggak cuma saya kali ya, mungkin banyak yang lain yang berpikir seperti itu. Nggak pernah tuh saya mikir gimana susah dan makan hatinya jadi guru.

Baru empat bulan sih, saya jadi guru. Masih asisten pula statusnya. Istilahnya, saya sok yes jadi guru, padahal baru belajar dari nol. Tapi hari ini di sekolah ada Hari Apresiasi Guru. Dan barulah saya menengok ke belakang perjalanan saya yang baru empat bulan ini.

Teacher's Appreciation Day in Sekolah Cita Buana

Hari ini banyak kejutan disiapkan di sekolah. Mulai dari lobby sekolah penuh foto guru. Hampir bikin saya nangis di tempat tadi pagi. Terus ada mama-mama yang nyiapin sarapan super wah. Dilanjutin dengan pound fit yang sukses bikin kaki pegal nggak karuan. Sampai tadi sore ditutup dengan makan-makan cantik sebelum pulang.

Dari awal ngelamar pekerjaan ini, sampai beneran diterima dan dijalani, saya nggak pernah mikir nanti saya bakal dapat apa. Buat saya ini cuma channel menyalurkan apa yang saya suka aja. Ngajar. Ngasih ilmu. Ngebentuk hidup. Tapi begitu tadi dibilangin makasih, diliatin gimana muka saya kalo lagi ngajar lewat foto-foto, rasanya tuh...apa ya? Blissful? Fulfilled? Intinya saya ngerasa hati saya jadi bengkak penuh kebahagiaan. Saya beneran ngerasa ternyata apa yang saya lakuin bakal ngasih manfaat ke orang lain. Bahwa ngajar tuh bukan cuma tentang saya yang menyalurkan kebahagiaan, tapi juga tentang orang lain yang menemukan kebahagiaan sama saya.

Sungguhan terharu sekali hari ini. Meski saya sendiri juga nggak yakin apa saya sudah pantas dapat apresiasi ini.

My Wonderful Team: TEC-HS Teachers

Perjalanannya masih super panjang. Dan seperti kata bu bos, harus tau kapan berhenti sejenak untuk rehat. Harus tau bahwa membesarkan diri sendiri juga penting. Harus ingat bahwa kapasitas kita juga harus terus dikembangkan.

Sungguhan, saya nggak bisa berhenti bersyukur saya jadi bagian dari orang-orang ini. Saya belajar banyak.

Dan untuk semua guru: Happy Teacher's Day

Me, a Teacher

Sunday, 3 November 2019

Life: Episode Collecting Trophies

Saya punya kakak yang pintarnya tumpah-tumpah (well, at least buat saya). Selisih umur kami lima tahun, jadi waktu saya masih kecil, kakak saya udah banyak koleksi tropi. Lomba apa lah, menang apa lah, peserta apa lah. Keren deh pokoknya. Jadi, dari kecil saya nggak sengaja menganggap bahwa hidup harus punya banyak prestasi. Harus unggul dibanding orang lain. Dalam bidang apa aja.

Me and my siblings

Sejak SD, guru-guru saya suka banding-bandingin saya sama kakak saya. Karena SD kami sama. Rata-rata bilang kalau saya nggak sepintar kakak. Dulu saya ngambek karena dibilang nggak sepintar itu (HAHA). Alhasil saya bener-bener struggle buat "berprestasi". Mencoba aktif ngapa-ngapain. Mencoba kelihatan pintar. dsb dsb. Usaha yang justru malah membuat saya punya titel anak sok sibuk, atau anak sok tau. Backfired.

Waktu SMA apa ya. Mungkin sejak itu, saya baru kenal konsep kalau orang ya.... beda. Segimana darah saya dan kakak saya sama, pada nyatanya kami individu yang beda. Semangat untuk terus jadi lebih baiknya boleh sama, tapi modal kami beda. Dan apa yang bisa kami dapat juga beda. Segimana saya mau usaha juga, saya ngga akan jago kimia seperti kakak saya. Sama halnya seperti gimanapun kakak berusaha, ngga akan bisa punya empati setinggi saya.

Jadilah saya mulai mengubah buruan saya. Masih tropi, tapi dalam bentuk yang berbeda.

Bagian favorit saya di kamar. Isinya foto orang-orang yang paling saya sayang! (Dan puzzle hogwarts!)

Di bangku putih-abu saya mulai sadar kalau saya suka banget berhubungan sama orang. Sayangnya, karena masih ada sisa-sisa sok tau dan sok sibuk, hubungan saya sama temen SMA sedikit sekali yang genuine. Hasilnya, saya cuma berhasil mengumpulkan kenangan-kenangan kecil perjalanan hidup saya di SMA. Saat itu, itulah tropi saya.

Snippet sedikit isi "Kotak Kenangan" SMA saya. Kebanyakan isinya ID Card dan scarf kepanitiaan.

Kampus, yang benar-benar membuat saya jadi "orang". Banyak orang bilang kalau masa SMA paling berkesan. Buat saya, kampus yang jadi rumah abadi. Saya bener-bener belajar banyak dan mengalami perjalanan mental, mencoba cari tau, siapa sih saya yang sebenarnya? Apa yang saya mau? Kenapa saya hidup? Perjalanan yang sampai sekarang belum selesai, tapi seenggaknya jalannya sudah beraspal, ngga lagi di tanah liat penuh batu.

Snippet kekurangkerjaan saya ngumpulin foto-foto

Di kampus lah saya banyak diskusi sama orang. Belajar untuk bilang "tidak tau" dan menghindari jadi orang sok tau. Masih sok tau sih, sekarang pun, tapi udah nggak separah dulu. Di kampus juga saya banyak membangun hubungan dengan orang. Hubungan yang beneran. Bukan sekadar karena terikat tugas atau kelompok. Tapi karena saya ingin.

Sebagian besar dari sahabat baik saya, saya temukan di masa-masa ini.

Merekalah tropi saya sekarang. Bagaimana mereka sayang sama saya. Bagaimana saya sayang mereka. Bagaimana mereka menganggap saya sebagai manusia. Semua itu yang jadi tropi buat saya.

Semuanya. Saya kumpulkan rapi. Dalam memento-memento kecil yang, mungkin bagi banyak orang tidak berarti, tapi buat saya inilah tropi.
Dua dari banyaak ucapan ulang tahun yang saya simpan dengan penuh sayang

Foto. Surat. Kado. Catatan kecil.

Sedikit dari banyaak, catatan-catatan kecil yang saya simpan

Semuanya masih ada. Dan saya simpan baik-baik. Dalam bentuk fisik, supaya hati saya tidak lupa. Bahwa saya dicintai. Bahwa hidup saya berarti buat orang lain. Bahwa kadang, mensyukuri hal-hal kecil lah yang membuat hidup kita terus maju ke depan.

Snippet "Kotak Kenangan" ketiga saya

Buat saya, inilah tropi.

Sunday, 1 September 2019

Life: Episode Menunggu

Saya punya kerjaan baru. Beneran gawe, bukan kerjaan yang dibuat-buat. Jadinya sebulanan ini saya suka recokin sahabat-sahabat saya tentang kehidupan baru saya. Terus ada yang bilang kenapa ngga bikin blog aja, Bes, tentang ini? Jadi saya memutuskan akan numpahin di sini saja cerita lucu sehari-hari saya.

Mungkin harus diawali dengan gimana ceritanya saya bisa dapet kerjaan ini kali ya.

Sebelum ini, saya kerja di sebuah lembaga non-profit di Surabaya. Lembaganya berupa komunitas untuk keluarga Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) alias special needs. Awalnya kerja ngurusin media, karena saya memang lulusan komunikasi. Tapi terus saya diminta ngurusin program juga. Jadilah saya jatuh cinta sama bocah-bocah special needs ini. Menurut saya kerja untuk ABK adalah kerjaan yang sangat meaningful dan fulfilling. Dan saya merasa berada di tempat saya, seakan-akan memang dari awal ini yang harusnya jadi bagian dari hidup saya. Tapi sayangnya, hal-hal terjadi yang membuat saya resign awal November tahun lalu. 

Saya dan ABK binaan di non-profit


Nah, sahabat-sahabat saya tahu kalau saya sukaa sekali ngurusin ABK. Jadi saya dikasihlah info lowongan pekerjaan yang masih merepet-merepet ke sana. Salah satunya adalah lowongan jadi guru special needs di sebuah sekolah swasta di Jakarta. Saya mikir lumayan lama sewaktu saya dapat info. Saya ngga punya latar belakang pendidikan yang sesuai (mereka minta lulusan psikologi atau Pendidikan Luar Biasa), saya ngga punya pengalaman mengajar juga. Tapi saya putuskan kepalang nekat saja. Jadilah saya masukkan lamaran saya lewat email. Saya nulis panjang lebar luas di cover letter saya tentang gimana saya selalu suka ngajar. Dan gimana saya telat nemuin passion saya. Dan sesuka apa saya sama ABK sampai kenapa saya mau kerja untuk mereka. 

Tapi dasar bocah, setelah email saya kirim, saya baru sadar kalau di email itu saya ngga nulis kalau saya pernah nanganin ABK, ha! Alhasil saya kirim lagi email baru dengan cover letter baru yang ngejelasin bahwa saya pernah kerja untuk ABK dan jenis gangguan apa saja yang pernah saya temui. Sungguhan, malu maksimal kala itu. Saya bener-bener ngerasa nggak ada harapan. Nggak berharap akan dihubungi balik karena kebodohan saya itu.

Nggak boleh emang menghitung anak ayam sebelum mereka netas.

Saya dipanggil buat wawancara. Sekitar akhir Februari jadwalnya. Saya super senang dong. Selain karena itu adalah panggilan wawancara pertama saya setelah nganggur kurang lebih tiga bulan. Rasanya seolah ada harapan? Hahaha so dramatis. Waktu itu saya berangkat ke Jakarta dengan bahagia. Sungguhan bahagia, meski cuma untuk interview. Saya bilang ke diri sendiri supaya jangan besar kepala dan harus jaga ekspektasi. Dijalani dengan santai aja dan harus terima kalau nggak diterima.

Waktu itu group interview. Dalam grup saya ada empat orang interviewee. Tiga orang selain saya semuanya lulusan psikologi UI. Hahaha saya jiper parah. Apalagi salah satu udah jadi shadow teacher juga. Beneran ngerasa salah tempat. Tapi interview-nya berjalan lancar buat saya. Saya berusaha ngejawab semua pertanyaan sejujur-jujurnya, tanpa pemanis apapun. Sebisa mungkin, saya juga tunjukkan semangat belajar saya (because honestly, at that point, my will to learn is the only appeal I have). Dan saya super senang karena ibu-ibu interviewer juga cerita pahit-pahitnya jadi guru. Apa yang harus diekspektasikan (murid yang sulit misalnya) dan apa yang jangan diekspektasikan (gaji tinggi, misalnya). Dari obrolan singkat itu (well, it does feel like a talk rather than an interview) saya belajar super banyak. Dan saya ngerasa bahwa sekolah ini punya value yang sejalan sama prinsip saya. Saya senang dikasih kesempatan ngobrol, dan saya agak sedih karena ngerasa mungkin itu terakhir kalinya saya akan ngobrol dengan para ibu itu, jadi saya berusaha menyerap banyak ilmu.



Seminggu, dua minggu setelah interview, saya belum dihubungi. Jujur saya cemas karena buat saya kabar, buruk sekalipun, sejuta kali lebih baik dari tidak ada kabar. Minggu ketiga setelah saya udah pasrah, saya dapat undangan untuk melakukan demo teaching. Rasanya? Ecstatic! Beyond happy. Soalnya saya akhirnya bisa ngelihat sendiri value sekolah ini at practice. In their everyday live. Langsung. Otomatis saya siapkan demo teaching ini sebaik-baik yang saya bisa. Saya luangkan seminggu di Jakarta. Dua hari untuk observasi sebelum demo, dan hari-H demonya. Super gugup, tapi menanti-nanti juga.

Sebelum saya berangkat, saya sudah dikasih list, saya akan demo teaching di mana, ngajar apa, dan siapa aja nama muridnya.

Sekolah ini sekolah inklusi dengan kelas reguler untuk early education, primary, middle school, dan high school. Tapi juga punya departemen special needs. Departemen ini punya empat unit: dua untuk usia SD dan dua untuk usia SMP-SMA. Di setiap jenjang usia dibedakan lagi unit untuk anak yang High Function dan High Support. Dari empat unit ini, saya diminta demo di tiga unit. Belakangan aja saya baru tau kalau nggak semua kandidat diminta demo di lebih dari satu unit. Mungkin mereka lihat potensi saya di tiga unit. Atau mungkin mereka lihat saya nggak punya potensi menonjol makanya dicobain di tiga unit HAHA. 

Demo teaching ini cerita seru lagi. Meski saya udah dua hari observasi, saya tetap kalang kabut waktu hari-H demonya. Terutama di salah satu unit yang saya diminta untuk dongeng. Pingin nangis rasanya hahaha. Di unit lain saya ngajar IPA dan beneran harus kreatif mengubah objektif pelajaran. Di unit terakhir, saya ngajar bahasa inggris. Jauh lebih lancar meski tetap kalang kabut karena kondisi kognisi muridnya beda satu sama lain, jadi kecepatan mengerjakannya juga beda. Waktu demo ini ibu-ibu yang punya departemen special needs tahu kalau saya dari Surabaya dan ke Jakarta cuma untuk ini. 

Sebulan lagi berlalu. Saya ditelpon Ibu Kepala Departemen, beliau bilang kalau beliau sebenernya suka sama saya. Tapi ternyata jumlah murid belum memerlukan guru baru (karena ada murid yang keluar), jadi saya diminta menunggu sampai murid baru kembalikan formulir daftar ulang. Kejadian ini sekitar bulan April. Kalau dipikir sekarang, saya berterima kasih sekali dikabari, nggak digantung tanpa hasil.

Akhirnya saya menunggu..

Sambil tunggu, saya cari-cari lowongan lain. Tapi waktu itu, saya sudah masuk terlalu dalam. Hahaha. Saya sudah ketemu anak-anaknya, saya sudah tahu sedikit budayanya, saya ngobrol sama guru-gurunya.. Dan buat saya, semuanya seakan memang bagian dari saya. Begitupun sebaliknya. Meski saya apply ke tempat lain, setiap saya kirim email, hati saya selalu bilang tapi saya mau ngajar di tempat yang itu. Meski saya berusaha legowo dan merelakan, menganggap muridnya memang nggak butuh guru baru, saya tetap nggak rela.

Dan terjadilah.

Berkah ramadhan memang. Awal bulan Mei. Saya ditelpon lagi, dikabari bahwa saya diterima. Bahwa muridnya bertambah dan mereka butuh guru baru. Bahwa mereka butuh saya. Bahwa saya sekali lagi akan terbang ke Jakarta untuk bertemu anak-anak yang sudah nempel di hati saya sejak hari pertama saya lihat mereka.

Keluarga baru saya!

Super nggak mudah, sungguhan. Menunggu. Banyak galaunya. Banyak sedihnya. Sejak bulan februari saya kirim email itu, sampai akhirnya mei saya diberi job offer. Dan juli ketika saya beneran mulai masuk. Selama delapan bulan menganggur, hampir enam bulan saya habiskan untuk menunggu. Tapi ujung penantiannya beneran membuat bahagia. Saya bisa bilang kalau satu setengah bulan saya di sini adalah salah satu masa-masa paling bahagia saya. 

Jadi untuk yang sedang menunggu, atau yang belum tahu harus melakukan apa dengan hidup, atau yang merasa nggak berharga untuk dapat sesuatu, percayalah kalau pada waktunya semua akan baik-baik saja. Mungkin bukan baik seperti yang kita bayangkan, tapi toh tetap baik. Jadi jangan terlalu keras sama diri sendiri. Puk puk diri sendiri itu penting. Berprasangka baik terhadap hidup itu penting. 



Dan yang paling penting, setiap orang punya garis waktunya masing-masing! Selamat menunggu :)

Tuesday, 23 April 2019

Life: Episode Buku

Setiap kali ditanya, apa hobinya? Saya nggak pernah ragu buat jawab, "baca buku!". Meskipun belakangan ini malu ngakunya karena udah jarang sekali baca buku. Tetap, buku jadi bagian yang sangat sangat penting dalam membentuk identitas saya.

Rak buku saya yang super penuh dan debuan. Isinya sekitar 200 buku.


Sejujurnya, saya nggak pernah ingat apa buku pertama yang saya baca atau apa buku pertama yang saya pilih sendiri. Orang tua saya berulang kali selalu bilang, "Bawa Tari keluar selalu ngerepotin karena dia ngerengek minta pulang. Kecuali kalau dikasih buku, pasti langsung diem." hahahaha. Punya dua orang tua yang kerja sebagai guru mungkin jadi faktor utama kenapa saya suka sekali sama buku. Dari kecil, suplai buku saya nggak pernah berhenti.  Selalu ada aja yang dibawa orang tua pulang. Dan isinya selalu macam-macam, mulai dari cerita detektif, dongeng, fabel, sejarah, sampai buku percobaan sains. Hampir semuanya dibawakan bukan untuk dipunyai, cuma lewat saja, minjam dari perpustakaan. Waktu itu, beli buku adalah kemewahan, dan keluarga saya belum punya kemewahan itu.

Paling ingat sewaktu dibelikan set buku dongeng lengkap sama istana kertasnya. Ada dua belas buku! Dan semuanya nggak perlu dikembalikan karena itu punya kami. Waktu itu saya belum bisa baca. Tapi saya suka minta dibacakan sama kakak atau orang tua. Lantas ceritanya saya teruskan ke teman-teman di rumah. Harap dicatat ya, saya belum bisa baca, jadi saya cuma bluffing aja pura-pura baca. Padahal saya hafal ceritanya, atau nggak, saya karang sendiri berdasarkan gambarnya. Teman-teman saya percaya aja tuh. Akhirnya, waktu saya umur empat tahun (kira-kira) dan mulai bisa baca sendiri, saya tercenung-cenung karena akhirnya tau cerita dongeng yang benar, bukan karangan, hahaha. Mungkin karena saya segitunya suka buku ya, akhirnya di antara teman-teman, saya yang paling cepat bisa baca. Dan saya pilih-pilih kalau sayang sama keluarga besar berdasarkan ada buku di rumahnya atau tidak. Logika anak kecil.

Salah satu buku pertama yang saya baca sebelum masuk SD


Waktu saya SD, saya mulai ketemu beberapa teman yang hobi baca juga. Biasanya kami nongkrong di perpustakaan sepulang sekolah. Sekolah saya ada di pinggiran Surabaya, jadi akses ke perpustakaan daerah cukup sulit, adanya ya perpustakaan sekolah yang bukunya terbatas sekali. Saya masih ingat buku favorit saya dulu judulnya SIM-B, ceritanya tentang anak yang ingin pelihara binatang tapi nggak boleh sama ibunya. Jadi dia lampiaskan lewat hobi koleksi figur dinosaurus. Saya jadi tau banyak tentang dinosaurus dari buku itu. Akhirnya ibunya ngasih anak ini SIM-B, Surat Izin Memelihara Binatang, dan si bocah pelihara iguana karena mirip dinosaurus.

Waktu SD juga saya mulai kenal sama komik. Detektif Conan jadi komik pertama yang saya baca. Sungguhan deh, dulu saya iri sekali sama teman yang bisa koleksi Conan. Kerjaan saya kalau nunggu jemputan adalah ke rumah temen saya itu dan nimbrung baca Conan berjam-jam. Waktu kelas 3-4 juga saya masuk siang, sehingga paginya saya ikut bapak ke tempat beliau ngajar. Biasanya saya di perpustakaan, baca buku meski sebagian besar isinya buku pelajaran. Saya paling suka baca buku bahasa dan PPKn waktu itu.

Koleksi komik saya yang super sedikit, ini pun dikasih teman set miiko-nya.


Waktu SMP saya sekolah di pusat surabaya. Ketemu teman-teman yang punya privilege untuk mengakses buku dengan mudah karena jarak dan uang, membantu saya tahu lebih banyak tentang buku-buku populer. Perpustakaan sekolah juga jauh lebih besar dibanding waktu SD dan saya suka kabur ke perpustakaan dibanding ikut class meeting. Kartu perpustakaan saya penuuuh sekali dulu. Dan saya selalu bangga kalau saya pinjam buku yang jarang dipinjam orang. Waktu SMP inilah saya mulai baca novel klasik, mulai dari karya Arthur Conan Doyle, Marga T, NH Dini, Hilman, sampai buku-buku yang muncul potongannya di buku pelajaran macam Siti Nurbaya. Saya juga mulai berani beli buku sendiri dengan nabung (mengingat saya boros, ini patut dicatat sebagai prestasi!). Masih ingat dulu saya bela-belain jalan kaki ke kios di Tidar buat beli naruto atau conan.

Saat SMA minat baca saya mulai turun. Bukan cuma karena saya lebih senang ikut kepanitiaan, tapi juga karena buku pertama yang saya pinjam dari perpustakaan sekolah, saya kembalikan di hari saya lulus, makanya saya takut sekali masuk perpustakaan sekolah. Kalau dipikir sekarang, mungkin juga saya malas baca buku waktu SMA karena saya mati-matian belajar. Kalau sebelumnya waktu belajar saya pakai buat baca buku, waktu SMA, saya belajar aja masih nggak paham. Tapi saya ketemu sama lebih banyak teman yang suka baca dan dikenalkan dengan aliran-aliran pop macam Ika Natassa, Ayu Utami, Andrea Hirata, dan kawan-kawan.

Dua bagian rak yang isinya buku-buku paling favorit saya.


Kemudian waktu saya duduk di bangku kampus dan mengalokasikan keuangan saya sendiri, saya baru mulai liar beli buku. Kalap. Sungguhan. Sebagian besar buku yang saya beli adalah buku-buku yang dulu pernah saya baca dan saya suka sekali. Sebagian alasannya karena saya payah dalam pilih buku tanpa rekomendasi, sebagian lagi karena saya ingin koleksi buku-buku pinjaman yang dulu saya sayang.

Buku paling tua yang saya punya. Beli di braga karena iseng.


Jadilah sampai sekarang koleksi buku saya nggak banyak-banyak amat untuk ukuran orang yang suka baca buku. Dan semakin ke sini saya juga semakin jarang baca buku karena main hp dan baca fanfiction lebih seru. Banyak buku-buku saya yang belum saya baca, padahal setiap hari mereka lambai-lambai tanpa dosa minta dibaca. Tetap, sampai sekarang pun saya belum selesai memburu buku-buku lama yang dulu membuat saya ter-aah dan ter-oooh. Saya masih bercita-cita untuk bisa koleksi buku, minimal sebanyak buku Yusaku Kudo. Supaya nanti anak saya bisa punya privilege baca buku tanpa khawatir, dan tanpa batas.

Jadi begitulah, kenapa sampai sekarang saya selalu bilang hobi saya baca meski sudah sangat jarang dilakukan. Karena kalau dilihat ke belakang, saya nggak pernah suka sesuatu sampai sebegininya saya suka sama buku. Dan ketika ada teman yang menjadikan buku adalah bagian dari identitas saya, saya bangga luar biasa.

Saya lagi suka nitip dibelikan buku dongeng lokal kalau ada teman yang lagi di luar negeri


Untuk semua yang suka buku juga, selamat hari buku sedunia!

Sunday, 14 April 2019

Filosofi Jalan

Berhubung saya melewatkan hampir dua tahun pegang kemudi motor di Surabaya, saya jadi semakin yakin bahwa hidup itu seperti jalanan, seperti ocehan saya dulu tentang filosofi jalan. Bukan cuma tentang ke mana tujuan kita dan jalan mana yang kita ambil, jalanan benar-benar seperti versi mini kehidupan!

Ada aturan-aturan rumit yang dipermudah tapi tetap saja dilanggar. Ada berbagai macam kendaraan yang bisa dipakai di jalan, ada banyak cara berpergian: entah itu sendirian atau berombongan, atau cukup berdua saja. Bahkan dalam mencapai tujuan pun, ada yang langsung terfokus, tapi nggak sedikit yang berhenti di beberapa tempat sebelum mencapai tujuan akhirnya.

Satu hal penting yang saya perhatikan, dan patut disyukuri, baik di jalanan maupun dalam hidup adalah: modal. Kalau dilihat di jalanan, modal ini bisa diartikan dengan apa jenis kendaraan yang kamu bawa? Dan seberapa dekat kamu dari tujuan kamu? Untuk mengartikan modal ini tidak linear sama sekali. Orang yang bermodal sepeda bisa jadi lebih menderita dibandingkan yang bermobil bila cuaca jadi variabelnya. Tapi yang bersepeda memiliki keuntungan mutlak yang tidak dipunyai yang bermobil: agility. Masalah jarak juga demikian. Katakanlah semua ada di rumah dan bertujuan ke sekolah. Yang berada lebih dekat bisa jadi punya kesempatan sampai duluan lebih banyak, tapi juga bisa jadi punya kesempatan telat lebih banyak karena meremehkan. Kesimpulannya, modal hanya modal. Perkara bagaimana digunakan untuk mencapai tujuan akan sangat bergantung pada bagaimana pengedaranya memanfaatkan.

Begitu juga dengan hidup. setiap orang punya modalnya sendiri. Kecerdasan, pendidikan, jaringan dan kesempatan, bahkan keberuntungan. Setiap orang punya takarannya masing-masing. Yang satu bisa jadi punya modal lebih banyak dibanding yang lain, tapi bukan berarti keuntungannya lebih banyak. Bagaimana memanfaatkan modal yang kita punya sebaik-baiknya untuk membantu kita mencapai tujuan adalah hal yang penting sekali. Mungkin inilah sebabnya orang-orang bilang bahwa pekerja keras akan selalu bisa mengalahkan orang cerdas. Terbukti sekali. Saya jadi buktinya dan pembuktiannya sakit sekali.

Hal lain yang menarik untuk diperhatikan di jalan adalah kecelakaan. Ngeri ya? Tapi terjadi. Dalam hidup juga begitu, kcelakaan terjadinya tidak pilih-pilih. Terduga? Mungkin. Bisa dihindari? Bisa jadi. Selagi mengamati kecelakaan di jalan, saya jadi menyimpulkan bahwa ada dua hal penting yang harus digunakan supaya kita selamat dari sebagia besar kecelakaan.

Yang pertama adalah mawas pada kondisi sekitar. Di jalan, kita bekendara tidak sendirian. Bisa jadi cara kita aman, tapi kecelakaan bisa terjadi karena kita tidak sadar orang lain sedang serampangan. Penting untuk selalu awas pada kondisi sekitar untuk bisa berkendara dengan selamat. Penting untuk punya indera keenam dan memprediksi ibu-ibu yang akan belok ke kiri meski lampu sen nya menyala ke kanan. Pun dalam hidup. Kita hidup tidak sendiri, maka penting untuk memantau orang-orang lain, dinamika-dinamika lain, supaya kita tahu ketika ada bahaya. Dan yang paling penting, supaya kita bisa membantu orang-orang yang sedang dalam bahaya juga. Contoh sederhana nih ya, penting punya insting dan informasi tentang uang panas di kantor supaya kita tidak kecipratan mudharatnya.

Faktor kedua supaya terhindar dari kecelakaan adalah, kontrol diri. Sudah tahu nih ibu-ibu di depan akan belok kiri tapi kalau kita tidak bisa mengontrol diri untuk rem dan menghindar ya buat apa. Sudah tahu nih bahaya karena lampu lalu lintas sudah kuning, tapi kita tidak bisa mengontrol diri untuk berhenti ya buat apa. Sama persis seperti dasar-dasar bertahan hidup, lihat situasinya, lalu bertindak sesuai dengan yang diperlukan. Dalam hidup, kontrol diri itu luar biasa pentingnya. Karena manusia lebih sering menuruti otak monyetnya kan? Untuk makan lebih banyak, untuk tidur lebih banyak, untuk menunda sehari lagi saja, untuk menyelipkan bon tiga puluh ribu saja, untuk pegangan tangan sekali saja, untuk membiarkan pikiran jahat menyelebung sekali lagi saja. Semuanya tentang kontrol diri. Dan yang lucu dari kontrol diri adalah, kita tidak pernah sadar kapan kehilangan kontrol. Karena itu, penting untuk terus evaluasi, untuk terus melihat lagi ke rambu-rambu yang telah dituliskan untuk kita, untuk membangun kemampuan berpikir cepat dan bertindak cepat.

Karena bukan cuma mengemudi yang butuh skill dan jam terbang, hidup juga.

Dan karena jalanan adalah cerminan hidup, kita selalu bisa melihat sisi terbaik dan terburuk seseorang lewat bagaimana dia menghadapi jalanan ;)

Tentang Menjaga Hubungan

Beberapa bulan lalu, atau mungkin beberapa tahun lalu, entahlah, saya ngobrol sama seorang teman. Dia bilang kalau dalam hubungan persahabatan dia selalu ada yang ngasih lebih banyak. Hubungan dengan si A misalnya, teman saya ini lebih banyak ngasih. Sementara dengan si B, teman saya lebih banyak diam dan menerima.

Definisi ngasih dan nerima ini bisa jadi banyak hal, mulai dari cerita-cerita, ungkapan kasih sayang, perhatian, dan sebagainya dan sebagainya. Menariknya, semua hubungan ini tetap berjalan dengan baik-baik saja karena memang ekspektasinya sudah terpeta. Dan kedua belah pihak sama-sama paham. Misalnya saja, saya nggak akan berharap blueberry tanya kabar saya duluan karena dalam hubungan kami, saya yang tanya duluan. Atau, saya tidak akan kaget kalau alpukat tiba-tiba kirim hadiah ke rumah karena begitulah hubungan kami.

Dalam hubungan antar-pribadi, dua belah pihak punya pengalaman yang sama dalam menjalani hubungan diantara mereka. Jadi, ekspektasinya sudah terpeta. Dan bukankah hubungan yang paling baik adalah hubungan yang keduanya memahami ekspektasi satu sama lain? Tidak ada tuh istilah harapan palsu dalam hubungan yang sehat karena tidak main kucing-kucingan. Ekspektasinya jelas, jadi tidak ada kekecewaan.

Ironisnya, kadang adanya pemahaman ini membuat kita jadi menganggap remeh makna seseorang dalam hidup kita. Adanya pemahaman bahwa orang lain memang tidak akan berusaha lebih dulu kadang membuat kita bertanya, apa artinya kita memperjuangkan sendirian? Ironisnya, meskipun ada pemahaman, hubungan di mana yang satu memberi lebih banyak dibanding yang lain, justru membuat hubungan itu sendiri rapuh. Karena hubungan itu seperti cermin, seperti gaya, kita baiknya menerima sebanyak yang kita beri.

Saya pernah menulis di blog ini bahwa sebanyak apapun kita memberi cinta, kasih sayang, semuanya akan kembali meski tidak dengan cara yang sama. Meski tidak melalui orang yang sama. Ini berlaku untuk semua jenis hubungan ya. Termasuk untuk hubungan keluarga, yang paling kuat pemahamannya, tapi mungkin menjadi yang paling rapuh karena tidak pernah dipelihara.

Intinya, hubungan yang sehat memang bermula dari pemahaman, tapi hubungan yang sehat juga harus diiringi dengan usaha satu sama lain untuk memberikan perjuangan dan keringat yang sama dalam menjaga hubungan. Supaya suatu saat ketika kita tidak lagi ketemu dengan sahabat atau mantan kita, bukan kita sendiri yang hatinya sakit saat duduk di kafe yang biasa didatangi bersama.

Mungkin inilah kenapa orang dewasa punya sedikit teman ya. Menjaga hubungan itu super susah!