Sebenernya udah lama pingin tulis tentang ini. Sejak pulang ke rumah Januari lalu dan main ke rumah kakak yang sekarang tinggal dengan suaminya. Rumahnya agak jauh, di daerah Sidoarjo. Saya dan Ibu kesana berboncengan naik motor beberapa kali. Jalannya rumit, awalnya melewati jalan raya penuh truk berlalu lalang, terus masuk ke jalan sempit, lalu keluar ke jalan raya lagi, kemudian masuk ke perkampuangan untuk kembali ke jalan raya lagi.
Lalu, sembari menyetir motor dan membonceng ibu, saya berpikir,
Mungkin hidup itu sebenarnya seperti jalan. Ada jalan besar, ada yang kecil. Ada yang berpolusi, ada yang damai sekali. Kadang kita ketemu motor yang lebih bagus, mobil, atau truk besar. Tapi tidak jarang kita juga ketemu pejalan kaki atau motor yang lebih butut. Ada rambu-rambu di jalan, ada peraturan. Hidup juga begitu kan? Kita bertemu yang lebih superior, dan yang lebih inferior. Kadang hidup serasa sesak dan melelahkan, tapi juga menjadi menyenangkan dan indah. Ada rambu juga, ada norma, ada agama, ada stigma sosial.
Mengenai jalannya hidup, juga sama seperti jalan. Mungkin kita mulai dari jalan yang kecil, lalu keluar ke jalan besar. Mungkin kita mengambil jalan pintas untuk lebih cepat sampai ke jalan besar. Atau mungkin, justru jalan besar itulah jalan pintas menuju jalan yang lebih kecil. Mungkin kita akan lama berada di jalan besar, untuk kemudian berbelok ke jalan kecil, dan sebaliknya. Jalan manapun yang kita pilih, akan menjadi jelas kalau tujuannya jelas, akhir jalannya jelas. Apa kita akan berhenti di toko di pinggir jalan raya? atau makan bakso di dekat pematangan sawah? Semua tergantung tujuannya.
Tapi yang pasti, sama seperti hidup, segala perjalanan ini akan selalu berakhir di rumah.
Monday, 25 April 2016
Week 14: How Do You Love Yourself?
No matter how I look like from the outside, actually I am a person with timid and coward personality. Saya menakutkan banyak hal dan banyak keadaan, dan saya sering merasa tidak pantas berada di satu tempat. Dan dalam hal mencintai diri sendiri pun, saya merasa begitu--kenyataannya memang begitu.
Secara fisik, apa yang bisa dicintai dari saya? Gendut, hitam, pendek, berkacamata, dan berhidung bulat. Saya tidak bilang saya jelek, tapi buat saya, saya juga jauh dari kata cantik (secara fisik).
Dalam hal akhlak, apa yang bisa dicintai dari saya? Tak perlulah kita bicarakan agama, moral sosial yang saya miliki biasa saja. Saya berbohong, saya berprasangka, saya mengeluh.
Secara intelektual, apa yang bisa dicintai dari saya? Hampir tidak ada.
Bagaimana saya mencintai diri saya? Tapi sebelum itu, apakah saya mencintai diri saya?
Dengan segala kualifikasi diri yang biasa saja, ternyata, sama seperti semua orang, saya masih mencintai diri saya. Kenapa dan bagaimana? Mungkin, karena saya memeluk diri saya seutuhnya, apa adanya, tanpa mengingkari suatu apapun. Saya menerima diri saya yang gendut, hitam, pendek, tukang bohong, dan tukang mengeluh seutuhnya. Saya menerima keputusan-keputusan yang saya buat dan menjalaninya tanpa penyesalan. Saya memeluk semua segi diri saya dan bangga karenanya, hidup tanpa meninggalkan penyesalan.
Mungkin itulah cara saya mencintai diri sendiri. Dengan memeluk dan mengakui diri sendiri, menerima segala kekurangannya dan segala keputusannya. Karena kalau kita tidak menerima diri kita seutuhnya, kalau kita tidak mencintai diri kita sebisanya, siapa yang mau mencintai kita?
Secara fisik, apa yang bisa dicintai dari saya? Gendut, hitam, pendek, berkacamata, dan berhidung bulat. Saya tidak bilang saya jelek, tapi buat saya, saya juga jauh dari kata cantik (secara fisik).
Dalam hal akhlak, apa yang bisa dicintai dari saya? Tak perlulah kita bicarakan agama, moral sosial yang saya miliki biasa saja. Saya berbohong, saya berprasangka, saya mengeluh.
Secara intelektual, apa yang bisa dicintai dari saya? Hampir tidak ada.
Bagaimana saya mencintai diri saya? Tapi sebelum itu, apakah saya mencintai diri saya?
Dengan segala kualifikasi diri yang biasa saja, ternyata, sama seperti semua orang, saya masih mencintai diri saya. Kenapa dan bagaimana? Mungkin, karena saya memeluk diri saya seutuhnya, apa adanya, tanpa mengingkari suatu apapun. Saya menerima diri saya yang gendut, hitam, pendek, tukang bohong, dan tukang mengeluh seutuhnya. Saya menerima keputusan-keputusan yang saya buat dan menjalaninya tanpa penyesalan. Saya memeluk semua segi diri saya dan bangga karenanya, hidup tanpa meninggalkan penyesalan.
Mungkin itulah cara saya mencintai diri sendiri. Dengan memeluk dan mengakui diri sendiri, menerima segala kekurangannya dan segala keputusannya. Karena kalau kita tidak menerima diri kita seutuhnya, kalau kita tidak mencintai diri kita sebisanya, siapa yang mau mencintai kita?
Kampus dan Menara Gading
Saya masih ingat, bulan Agustus tahun 2012, senior-senior memberi tahu saya bahwa mahasiswa memiliki tiga kewajiban yang dikenal sebagai Tri Dharma Perguruan Tinggi: Pendidikan, Penelitian, Pengembangan Masyarakat. Maksudnya? Sangat gamblang, artinya, sebagai mahasiswa, kami harus melalui proses pendidikan dan menjadi akademisi yang dapat mengangkat derajat dan martabat bangsa; kami harus melakukan penelitian sebagai upaya mengembangkan disiplin ilmu; kami harus melakukan pemberdayaan masyarakat melalui ilmu yang telah kami peroleh, aplikasi ilmu dalam kehidupan sosial.
Begitu apik, bagus, tertata, dan diterima oleh semua orang.
Begitu mulia tugas mahasiswa.
Saat ini, bulan April tahun 2016, hampir empat tahun semenjak saya mendengar tentang Tri Dharma Perguruan Tinggi, saya menyadari bahwa cita-cita dharma yang mulia itu tidak lebih hanya cita-cita lisan yang diulang terus menerus dari senior kepada juniornya, dari dosen kepada mahasiswanya. Kampus, tak lebih dari sekadar menara gading. Tinggi, agung, tapi jauh dan sendirian.
Begitu apik, bagus, tertata, dan diterima oleh semua orang.
Begitu mulia tugas mahasiswa.
Saat ini, bulan April tahun 2016, hampir empat tahun semenjak saya mendengar tentang Tri Dharma Perguruan Tinggi, saya menyadari bahwa cita-cita dharma yang mulia itu tidak lebih hanya cita-cita lisan yang diulang terus menerus dari senior kepada juniornya, dari dosen kepada mahasiswanya. Kampus, tak lebih dari sekadar menara gading. Tinggi, agung, tapi jauh dan sendirian.
Thursday, 14 April 2016
Kenapa Kita (Saya) Bisa Segitunya Sama K-Pop?
Itu. Adalah. Pertanyaan. Yang. Menarik.
Kurang lebih sepuluh tahun saya mengenal K-Pop, dengan segala kegilaannya, dengan segala pasang surutnya. Saya termasuk orang-orang pertama yang merasakan patah hati ketika Hangeng keluar dari Suju, leleh karena gemesnya Yogeun dengan SHINee appa-nya, menyaksikan serunya saingan antara Suju, Bigbang, dan SS501, masih kenal dengan lagu-lagu Trax, nonton MV Timeless Zhang Li Yin yang fenomenal, dan mengikuti semua kegilaan 2PM dan 2AM dari awal debut. Sekarang, setelah saya menjadi mahasiswa ilmu komunikasi yang hampir lulus (dikompori oleh teman sekamar yang adalah mahasiswa hampir lulus psikologi), selama empat tahun ini belajar mengenai media dan pelakunya, jadi merasa aneh: kenapa saya bisa segitunya sama K-Pop?
Untuk semua pecinta K-Pop yang sedang baca ini pasti merasakan, untuk yang belum, saya ceritakan sedikit apa makna dari segitunya dalam tulisan ini.
Kurang lebih sepuluh tahun saya mengenal K-Pop, dengan segala kegilaannya, dengan segala pasang surutnya. Saya termasuk orang-orang pertama yang merasakan patah hati ketika Hangeng keluar dari Suju, leleh karena gemesnya Yogeun dengan SHINee appa-nya, menyaksikan serunya saingan antara Suju, Bigbang, dan SS501, masih kenal dengan lagu-lagu Trax, nonton MV Timeless Zhang Li Yin yang fenomenal, dan mengikuti semua kegilaan 2PM dan 2AM dari awal debut. Sekarang, setelah saya menjadi mahasiswa ilmu komunikasi yang hampir lulus (dikompori oleh teman sekamar yang adalah mahasiswa hampir lulus psikologi), selama empat tahun ini belajar mengenai media dan pelakunya, jadi merasa aneh: kenapa saya bisa segitunya sama K-Pop?
Untuk semua pecinta K-Pop yang sedang baca ini pasti merasakan, untuk yang belum, saya ceritakan sedikit apa makna dari segitunya dalam tulisan ini.
credit: allkpop meme, owner: on pict |
Subscribe to:
Posts (Atom)