Pages

Thursday, 23 February 2017

Skripsi

Saya sedang baca ulang skripsi saya. Terus saya nemu satu paragraf yang ngebuat saya tercenung:

"sebagaimana penulis perempuan yang menulis untuk membangkitkan kesadaran identitas perempuan, saya menulis skripsi ini dengan harapan bahwa skripsi ini dapat membangun kesadaran perempuan Indonesia akan posisi dan perannya dalam masyarakat. Dominasi atas perempuan mungkin bukanlah perbincangan yang baru, akan tetapi, melalui skripsi ini, saya berharap perempuan dapat melihat bahwa ruang publik terbuka lebar bagi siapapun yang ingin menyuarakan pendapatnya. Perempuan sama berhak dan sama bebasnya untuk bersuara, dalam politik, maupun dalam rumah tangga. Saya berharap skripsi ini dapat mendorong perempuan untuk mulai berkarya, menulis dan meninggalkan jejak pikiran, serta membangun kesadaran bahwa keperempuanan adalah identitas yang tidak bisa kita tinggalkan. Kami perempuan, kami bangga, dan kami menulis untuk bersuara."

Let's not forget our initial heart, Bes.

The Happiest Time

These days I'm up to nothing. After my last project, I'm unemployeed. So I just lie around my bed lazily and opened twitter-instagram-askfm-youtube all day long. And sometimes opened my PC to watch series or another channel on youtube.

I used to think, what could go wrong? This is life that anyone always wanted. With nothing to do, no responsibilities, gotta watch my favourites all day long virtually, on top of that, I didn't have to worry for my living cost because I still have money. But this noon I've come to think, this is not happiness. All the doing-nothing is not my happiness. And I began to asks myself, when did I've had my happiest time?

And the answer just pop up immediately in my head. As if it's been there a long time, waiting myself to ask this obvious answer.

I'm the happiest at my elementary, cooking chocolate with my close friends. I'm the happiest when I went home together with my small gang at middle school. I'm the happiest when I went on LDKMS, when I planned an event, when I study my hardest at the tough-time in high school. I'm the happiest at my time in BEM. In fact, I'm the happiest when I'm with another people. Dreaming on something we dream together. Planning on wildness we built together. Doing on something we all promised to. In fact, I'm the happiest when I sweat myself out, talking about things, making friends. That's when I'm the happiest.

Of course doing nothing in my room was sure a comfortable act. But this isn't happiness. My happiness is out there, within people and action. Within weary and tears. Within hard times and suffer. Not in bed. Not in my room. Not now.

So, I think I have things to do now.

Tuesday, 21 February 2017

Bukan tentang Rasionalitas Plot

Lately, I am yearning for the years when everything was much more simple.
Ketika membaca buku menjadi kegiatan yang selalu menyenangkan. Dan ketika menulis menjadi hal yang tidak pernah dipaksakan.

Dulu saya menulis. Berlagak menjadi sastrawan amatir yang berpuisi dan menutur cerita. Jadi saya memutuskan, saya mau mulai bersastra lagi.

Lalu entah bagaimana ceritanya saya baca tulisan ini. Bahkan sebenarnya bukan tulisan, tapi sekadar fanfiction. Paragraf pertama, if this kind of story has so many viewers, I wonder how much more mine. Terus baca ke bawah, not bad, she penned her words nicely. Ketika konflik mulai muncul, I know where would this end~ Saya sudah bisa menebak akan bagaimana cerita itu. Akan semacam cerita-cerita picisan lainnya dengan akhir yang sama dan pesan moral yang sama. Guess what? Towards the end, I cried. A really really hard cry making my head dizzy.

Terus saya jadi mikir. Ini yang unik dari menulis. Saya bisa jadi sudah tau bagaimana ceritanya, semua pembaca yang lain juga. Tapi membuat pembaca mau tetap baca, tertarik secara emosional, dan merasakan apa yang dirasakan karakter cerita, itu adalah kemampuan penulisnya. Pada akhirnya, yang penting bukan hanya seberapa unik dan berbeda ceritanya, tapi bagaimana cerita itu disampaikan ke hati pembaca.

I've learned my lesson.

Sunday, 12 February 2017

Konsistensi

Ceritanya, saya ini gemuk sekali. Sudah lima tahunan ini saya overwight. Semenjak sudah nggak olahraga pasca-SMA, dan nggak pernah berusaha diet juga. Lalu tibalah hari dimana temen sekamar saya ngajakin diet. Bukan diet sih, bahasanya dia ngatur makan aja biar sehat. Terus untuk pertama kalinya saya nurut. Saya ikutan beli sayur-sayuran. Nggak makan fast food, nggak makan nasi, makan yoghurt sekali sehari (aslinya saya bisa makan 5 cup yoghurt sehari. Atau satu kotak susu yg 1 (?) liter itu sehari), sarapan, dan makan malam lebih awal.

Hari ini, seminggu setelah pola makan sehat ini dimulai, temen saya nanya,
"Bes, gimana? Setelah seminggu ini kamu merasakan perubahan apa?"
"Nggak berasa apa-apa"
"Terus kamu masih mau lanjut?"
"Iyalah"
"Semangat ya"
Jadi ceritanya dia mau mutung karena buat dia cara ini nggak berhasil.

Terus saya mikir, sebenernya diet itu bukan masalah ngurusin badan. Tapi masalah ngebenerin pola hidup yang berantakan. Dengan sarapan setiap hari, mengawali makan malam setiap hari, nggak makan fast food setiap hari. Semuanya butuh setiap hari dan konsistensi. Kalau belum berbuah, ya mungkin artinya kita belum konsisten sama apa yang kita lakukan.

Dan hal ini berlaku untuk segala hal.

Mulai dari belajar yang baik (sedikit, tapi konsisten), sampai berbuat baik ke orang lain. Semuanya butuh konsistensi. Dan setelah konsistensinya sudah kita lakukan tanpa sadar, mungkin kita baru bisa lihat apa efeknya. Sejauh mana ternyata kita sudah berubah.

Jadi, kalau belum ada yg berubah? Berarti kita belum konsisten :))

"Kalo jalan kaki sejam dibilang olah raga berarti aku jalan di mall sejam dua jam udah olah raga dong"
"enggak dong, kan tujuannya bukan buat olah raga, dan jalannya kan nggak konsisten"