Itu, adalah salah satu dialog favoritku di sepanjang serial Harry Potter. Apa ya, dialog itu yang menegaskan betapa seorang Severus Snape itu cinta banget sama Lily Evans. after all this time. Dan beruntungnya aku, di perpustakaan baru di universitasku yang sudah tua, aku nemu versi britishnya Harry Potter ini.
Dan percayalah, sebagus apapun terjemahannya, baca yang asli itu lebih bikin nyesek. Dobel nyeseknya. Baca yang asli itu jadi lebih paham. Mungkin karena bahasa inggris memang lebih direct dan nggak berbelit-belit kayak bahasa Indonesia kali ya. Ditambah penggunaan tenses yang membedakan waktu dan gender. Baca yang asli itu jatuhnya lebih ngeh. Oalaaaah, begini to yang dimaksudkan si Rowling. Dan lebih nyesek. Serius.
Seingetku, aku sudah cinta sama Harry Potter sejak pertama kali nonton filmya di tahun 2001, waktu itu aku masih kelas 1 SD. Dan sejak saat itu, aku tumbuh beriringan dengan Harry tumbuh dalam fantasiku. Masalahnya, aku nonton filmnya dulu, baru baca. Yah, agak kecewa sih sebenernya, karena imajinasiku yang murni sudah ternodai oleh gambaran dari filmnya *apasih* tapi aku tetep cinta sama Harry Potter. Dan aku punya bayangan sendiri loh gimana wajahnya si Harry dorry ini, bukan Raddcliff yang di bayanganku, tapi Harry yang lebih lucu, lebih baik, lebih oke deh pokoknya.
Yah pokoknya, sampe sekarang bahkan kalo ditanya buku favorit, aku masih jawab Harry Potter.
Saturday, 20 July 2013
Menikmati hidup
Main-main ke blog temen yang bukan anak soshum, bukan anak UI, itu langsung merasa yang, ooo, iya ya, dulu aku juga berpikir dengan cara begini. Jadi merasa waah, aku sudah lupa kalau masalah bisa dilihat sesimpel ini. Atau semacam, hmmm, kok rasanya aku nggak memberikan waktu untuk diri sendiri ya.
Ah, kayaknya aku sudah mulai lupa cara menikmati hidup. Kayaknya aku sudah mulai jadi budak hidupku. Lupa gimana caranya ketawa dengan bahagia hanya karena lelucon tidak lucu dari orang yang tidak punya pengaruh apa-apa.
Friday, 19 July 2013
Sejauh mana batas ikhlas
Ikhlas itu satu kata yang hampir selalu dikaitkan dengan derita, beban, segala hal negatif. Premis umumnya, ketika kamu dapat kejadian negatif, maka ikhlaslah. Padahal ketika kamu sedang bersenang-senang, kamu juga butuh ikhlas. Ketika kamu kebetulan dapat nilai bagus, kamu harus ikhlas atas kehebatanmu itu.
Tapi sejauh mana sih batas ikhlas itu? Sejauh mana ukurannya?
Ketika kamu melihat orang lain, mendapatkan apa yang kamu inginkan, tanpa usaha apapun, sementara kamu tidak. Dalam hati telah meyakinkan diri sejuta kali bahwa kamu baik saja. Tapi kamu memang tidak baik saja. Ada rasa kecil, memberontak, menanyakan apa yang dia punya dan kamu tidak. Suara kecil yang menolak kenyataan bahwa dia lebih baik. Ah, betapa angkuhnya, betapa sombongnya.
Ikhlas, bagaimana kamu mengukurnya?
Justru, ketika kamu menanyakan dimana ukurannya, ketika kamu bertanya apakah kamu sudah cukup ikhlas, ketika kamu menanyakan dimana batas dan dimana awal ikhlas dalam hatimu, menyinggung-nyinggung ikhlas, mencarinya. Justru saat itulah keikhlasanmu dipertanyakan.
Tapi sejauh mana sih batas ikhlas itu? Sejauh mana ukurannya?
Ketika kamu melihat orang lain, mendapatkan apa yang kamu inginkan, tanpa usaha apapun, sementara kamu tidak. Dalam hati telah meyakinkan diri sejuta kali bahwa kamu baik saja. Tapi kamu memang tidak baik saja. Ada rasa kecil, memberontak, menanyakan apa yang dia punya dan kamu tidak. Suara kecil yang menolak kenyataan bahwa dia lebih baik. Ah, betapa angkuhnya, betapa sombongnya.
Ikhlas, bagaimana kamu mengukurnya?
Justru, ketika kamu menanyakan dimana ukurannya, ketika kamu bertanya apakah kamu sudah cukup ikhlas, ketika kamu menanyakan dimana batas dan dimana awal ikhlas dalam hatimu, menyinggung-nyinggung ikhlas, mencarinya. Justru saat itulah keikhlasanmu dipertanyakan.
Subscribe to:
Posts (Atom)