Pages

Saturday, 20 July 2013

Menikmati hidup


Habis blogwalking ke blognya temen-temen SMA. Entahlah ya, serasa jadi melihat hidup gitu. Disini, aku dicekoki sama orang-orang yang itu-itu aja. Yang orang pergerakan lah, yang kritis lah, yang suka nanya-nanya lah. Jadi, sadar nggak sadar (sadar sih sebenernya) aku mulai kebawa gitu sama pola pikir dan gaya hidup orang-orang disini. Bacaannya berat, omongannya berat. Bahkan ngomong santaipun tetep berat. Tetep mikir. Iya sih masih becanda-canda masih ketawa-tawa. Tapi bahkan, sekarang candaannya itu candaan politis --"


Main-main ke blog temen yang bukan anak soshum, bukan anak UI, itu langsung merasa yang, ooo, iya ya, dulu aku juga berpikir dengan cara begini. Jadi merasa waah, aku sudah lupa kalau masalah bisa dilihat sesimpel ini. Atau semacam, hmmm, kok rasanya aku nggak memberikan waktu untuk diri sendiri ya.

Dulu, awal masuk UI jadi anak FISIP, aku sudah mewanti-wanti diriku sendiri untuk berprinsip. Biar nanti aku nggak banyak berubah, kalaupun berubah, perubahannya harus positif. Tapi sekarang aku baru sadar, aku udah banyak berubah ya ternyata. Bukan masalah positif negatifnya sih, karena sejatinya positif atau negatif itu tergantung dari cara mandangnya *tsaaah* Tapi ya gitu, aku jadi menyadari kalo aku sekarang kurang menikmati hidupku. Yang aku temui sekarang cuma deadline kerjaan, masalah di organisasi, bentrok sama orang. Nonton atau masak itu jadi bagian dari usahaku untuk kabur dari semua itu jadinya, bukan bagian dari hidupku. Terus aku juga jadi sadar kalo sekarang aku ngelihat masalah itu beraaaat bangeeet. Yang gede kayak gunung es gitu. Butuh sih, oke sih, ngelihat masalah dari banyak aspek. Tapi terkadang pikiran yang sederhana itu lebih jujur.


Ah, kayaknya aku sudah mulai lupa cara menikmati hidup. Kayaknya aku sudah mulai jadi budak hidupku. Lupa gimana caranya ketawa dengan bahagia hanya karena lelucon tidak lucu dari orang yang tidak punya pengaruh apa-apa.

Friday, 19 July 2013

Sejauh mana batas ikhlas

Ikhlas itu satu kata yang hampir selalu dikaitkan dengan derita, beban, segala hal negatif. Premis umumnya, ketika kamu dapat kejadian negatif, maka ikhlaslah. Padahal ketika kamu sedang bersenang-senang, kamu juga butuh ikhlas. Ketika kamu kebetulan dapat nilai bagus, kamu harus ikhlas atas kehebatanmu itu.

Tapi sejauh mana sih batas ikhlas itu? Sejauh mana ukurannya?

Ketika kamu melihat orang lain, mendapatkan apa yang kamu inginkan, tanpa usaha apapun, sementara kamu tidak. Dalam hati telah meyakinkan diri sejuta kali bahwa kamu baik saja. Tapi kamu memang tidak baik saja. Ada rasa kecil, memberontak, menanyakan apa yang dia punya dan kamu tidak. Suara kecil yang menolak kenyataan bahwa dia lebih baik. Ah, betapa angkuhnya, betapa sombongnya.

Ikhlas, bagaimana kamu mengukurnya?

Justru, ketika kamu menanyakan dimana ukurannya, ketika kamu bertanya apakah kamu sudah cukup ikhlas, ketika kamu menanyakan dimana batas dan dimana awal ikhlas dalam hatimu, menyinggung-nyinggung ikhlas, mencarinya. Justru saat itulah keikhlasanmu dipertanyakan.

Monday, 10 June 2013

Untuk kalian, the great comrades

Percayalah, apapun yang kamu lihat itu bukan yang sebenarnya. Sungguh. Kamu mungkin bisa melihatku yang selalu loncat kesana kemari dengan segala sisi ke-ekstrovert-anku. Tanpa mau melihat sisi gelap dan introvertku yang sengaja kututup rapat-rapat. Orang lain juga begitu. Dan kamu akan terkejut setelah mengetahui betapa hebat mereka sebenarnya.



Awal aku mengenal orang orang ini, tidak ada yang istimewa. Dengan segala jenis kesombongan yang aku punya, aku merasa mereka hanyalah mahasiswa biasa. Sedikit lebih cerdas mungkin dibandingkan rata-rata mahasiswa, tapi overall, biasa saja. Dengan segala macam kesombonganku, aku menganggap mereka tidak secuil pun lebih hebat dariku.

Tapi pernahkah kamu merasa begitu tertinggal? Pernahkah kamu merasa menjadi yang terbodoh dan tidak bisa apa-apa? Mungkin kamu bilang, ah anak ini alay, mana mungkin kita jadi yang paling bodoh di segala hal? Tapi ketika kamu berada di tengah-tengah orang-orang ini, kamu akan benar-benar merasa menjadi yang paling bodoh. Aku merasa menjadi yang paling bodoh. Seriusan.

Berada di tengah-tengah orang-orang ini dengan segala kesombonganku... Awalnya aku merasa aku sebanding dengan mereka. Semakin kemari, satu per satu kehebatan yang mereka sembunyikan mulai nampak. Satu per satu fakta mencengangkan tentang mereka terkelupas. Mereka bukan sekadar apa yang kuduga awalnya, mereka jauh lebih hebat. Membuatku merasa tertinggal dan bodoh sendirian. Merasa gabut sendirian berdiri di belakang sosok mereka yang begitu terlihat besar. Mereka... Ada yang tetiba terlihat jenius mengerikan, ada yang ternyata sanggup memunculkan sejumlah solusi dan pemikiran alternatif yang kreatif, ada yang dibalik kerapuhan yang sekilas terlihat, ternyata adalah sosok yang sekuat debur ombak, yang sanggup membelah karang. Ada yang mendadak terlihat sangat hebat dengan kasih sayang yang ia tunjukkan. Ada... Dan dibandingkan denganku, dibandingkan dengan kesombonganku, tak ada yang membuatku tinggi di hadapan mereka. Tak ada yang membuatku tinggi di hadapan-Nya. Membuatku merasa teringgal, jauh di belakang mereka. Bahkan menangkap bayangnya saja aku tak yakin bisa. Ah, bahkan dalam tulisan hina ini pun, aku tetap membawa sombongku bersama kata-kata: ingin merasa tinggi.

Tapi... Kamu inget Ronald Weasley? Itu loh, sahabatnya Harry Potter. Kata sang penulis, JK Rowling, Ron itu hebat. Tau apa yang membuat Ron hebat meski Harry yang terkenal ada di sampingnya? Karena Ron mengakui ketidakhebatannya. Karena Ron mengakui bahwa ia biasa saja, bahwa ia tidak lebih hebat, tidak lebih diinginkan. Karena itulah Ron hebat. Maka, kenapa aku harus memaksakan diri untuk menjadi Harry Potter yang hebat bila sebenarnya peran itu bukan untukku? Justru dengan mengakui bahwa aku mainstream dan biasa saja, aku bisa menjadi pemeran pendukung yang berguna. Aku tidak perlu lagi takut berjalan di belakang mereka dan mencoba menangkap bayangan mereka. Aku, dengan segala keterbatasanku, akan mengangkat wajahku dan berjalan di sebelah mereka. Bukan di depan dengan penuh kesombongan atau di belakang dengan penuh kerendahdirian. Tapi di samping.

Dan kata siapa pemeran pendukung tidak hebat? Aku hebat. Aku cukup tau itu. Karena berada di tengah-tengah orang-orang hebat ini, sudah prestasi sendiri buatku :)