Sunday, 10 January 2016
Week 13: Nostalgic
Keluarga kami tidak kaya. Gang tmpat kami tinggal juga tidak
berisi orang-orang kaya. Tapi aku tumbuh besar disana. Bersama anak-anak
seumuran kakakku dan aku, kami bermain dengan segala macam alat sderhana yang
bisa kami dapat. Petak umpet, lempar sandal, kejar-kejaran, benteng-bentengan..
Kami berangkat shalat maghrib bersama. Kami balapan mandi. Keluar main setiap
malam minggu. Berkumpul bersama setiap kali orang tua kami juga berkumpul.
Keluarga kami tidak kaya. Kami baru bisa membeli mesin cuci
dan lemari es sewaktu aku SD kelas empat atau lima. Dan itu pun, kami tergolong
yang pertama memiliki keduanya di gang kami. Aku ingat setiap bulan puasa
menjelang, setiap habis sahur ibuku akan membungkus air dalam plastic-plastik
dan dimasukkannya dalam lemari es baru kami sementara aku dan teman-teman
sebayaku akan bermain menghabiskan tenaga. Pernah satu hari kami nekat mencuri
manga muda dari satu lapangan entah milik siapa, di bulan puasa. Siangnya kami akan mengejek siapapun yang berbuka
lebih dulu saat waktu dzuhur. Selepas ashar, kami akan balapan mandi. Tak ada
hadiah tentu saja, hanya kesenangan dan kenangan. Menjelang maghrib, aku akan
mengantar es batu yang telah dibuat ibuku selepas sahur. Ku antar kemana? Ke
setiap rumah di gang kami. Satu rumah aku bei satu atau dua es batu. Untuk
dibuat es kata ibu, tidak enak buka puasa tidak pakai es. Biasanya sambil
menunggu adzan, ayahku akan menyalakan motornya dan mengajak salah satu dari
kami berkendara bersamanya. Entah kemana saja, yang penting jalan-jalan.
Selepas buka puasa, akupun akan berlari-lari menuju mushalla untuk bersiap
shalat tarawih. Saling mengisengi teman satu sama lain, brebut tanda tangan
imam, mngantri untuk tadarus, dan membeli banyak jajanan beminyak.
Keluarga kami tidak kaya. Gang tempat kami tinggal juga
tidak berisi orang-orang kaya. Tapi aku bahagia tumbuh disana.
Subscribe to:
Posts (Atom)