Pages

Wednesday, 20 November 2019

Catatan Spesial: Menjadi Guru

"Kalau nanti sudah gede, jangan jadi guru ya"

Begitu kata orang tua saya yang keduanya adalah guru. Dikelilingi sama sepupu-sepupu dan pakde bude dan orang tua yang sebagian besar adalah guru, saya (dan kakak saya) jadi menjauhkan 'guru' dari daftar impian kami. Kakak saya dulunya pingin jadi dokter anak, jadilah dia masuk kedokteran. Saya dulu pingin jadi presenter acara kuliner, jadilah masuk komunikasi.

Tapi dasar memang yang namanya darah nggak bisa bohong. Ujung-ujungnya kakak saya lebih suka ngedosen daripada praktik. Dan saya terdampar jadi guru untuk anak-anak istimewa.

Keterdamparan yang sangat saya syukuri.

Alat perang yang dikasih di hari pertama sebagai guru

Dulu, sewaktu sekolah, buat saya nggak ada yang istimewa dengan guru. It's just a job. Taken for granted. Nggak cuma saya kali ya, mungkin banyak yang lain yang berpikir seperti itu. Nggak pernah tuh saya mikir gimana susah dan makan hatinya jadi guru.

Baru empat bulan sih, saya jadi guru. Masih asisten pula statusnya. Istilahnya, saya sok yes jadi guru, padahal baru belajar dari nol. Tapi hari ini di sekolah ada Hari Apresiasi Guru. Dan barulah saya menengok ke belakang perjalanan saya yang baru empat bulan ini.

Teacher's Appreciation Day in Sekolah Cita Buana

Hari ini banyak kejutan disiapkan di sekolah. Mulai dari lobby sekolah penuh foto guru. Hampir bikin saya nangis di tempat tadi pagi. Terus ada mama-mama yang nyiapin sarapan super wah. Dilanjutin dengan pound fit yang sukses bikin kaki pegal nggak karuan. Sampai tadi sore ditutup dengan makan-makan cantik sebelum pulang.

Dari awal ngelamar pekerjaan ini, sampai beneran diterima dan dijalani, saya nggak pernah mikir nanti saya bakal dapat apa. Buat saya ini cuma channel menyalurkan apa yang saya suka aja. Ngajar. Ngasih ilmu. Ngebentuk hidup. Tapi begitu tadi dibilangin makasih, diliatin gimana muka saya kalo lagi ngajar lewat foto-foto, rasanya tuh...apa ya? Blissful? Fulfilled? Intinya saya ngerasa hati saya jadi bengkak penuh kebahagiaan. Saya beneran ngerasa ternyata apa yang saya lakuin bakal ngasih manfaat ke orang lain. Bahwa ngajar tuh bukan cuma tentang saya yang menyalurkan kebahagiaan, tapi juga tentang orang lain yang menemukan kebahagiaan sama saya.

Sungguhan terharu sekali hari ini. Meski saya sendiri juga nggak yakin apa saya sudah pantas dapat apresiasi ini.

My Wonderful Team: TEC-HS Teachers

Perjalanannya masih super panjang. Dan seperti kata bu bos, harus tau kapan berhenti sejenak untuk rehat. Harus tau bahwa membesarkan diri sendiri juga penting. Harus ingat bahwa kapasitas kita juga harus terus dikembangkan.

Sungguhan, saya nggak bisa berhenti bersyukur saya jadi bagian dari orang-orang ini. Saya belajar banyak.

Dan untuk semua guru: Happy Teacher's Day

Me, a Teacher

Sunday, 3 November 2019

Life: Episode Collecting Trophies

Saya punya kakak yang pintarnya tumpah-tumpah (well, at least buat saya). Selisih umur kami lima tahun, jadi waktu saya masih kecil, kakak saya udah banyak koleksi tropi. Lomba apa lah, menang apa lah, peserta apa lah. Keren deh pokoknya. Jadi, dari kecil saya nggak sengaja menganggap bahwa hidup harus punya banyak prestasi. Harus unggul dibanding orang lain. Dalam bidang apa aja.

Me and my siblings

Sejak SD, guru-guru saya suka banding-bandingin saya sama kakak saya. Karena SD kami sama. Rata-rata bilang kalau saya nggak sepintar kakak. Dulu saya ngambek karena dibilang nggak sepintar itu (HAHA). Alhasil saya bener-bener struggle buat "berprestasi". Mencoba aktif ngapa-ngapain. Mencoba kelihatan pintar. dsb dsb. Usaha yang justru malah membuat saya punya titel anak sok sibuk, atau anak sok tau. Backfired.

Waktu SMA apa ya. Mungkin sejak itu, saya baru kenal konsep kalau orang ya.... beda. Segimana darah saya dan kakak saya sama, pada nyatanya kami individu yang beda. Semangat untuk terus jadi lebih baiknya boleh sama, tapi modal kami beda. Dan apa yang bisa kami dapat juga beda. Segimana saya mau usaha juga, saya ngga akan jago kimia seperti kakak saya. Sama halnya seperti gimanapun kakak berusaha, ngga akan bisa punya empati setinggi saya.

Jadilah saya mulai mengubah buruan saya. Masih tropi, tapi dalam bentuk yang berbeda.

Bagian favorit saya di kamar. Isinya foto orang-orang yang paling saya sayang! (Dan puzzle hogwarts!)

Di bangku putih-abu saya mulai sadar kalau saya suka banget berhubungan sama orang. Sayangnya, karena masih ada sisa-sisa sok tau dan sok sibuk, hubungan saya sama temen SMA sedikit sekali yang genuine. Hasilnya, saya cuma berhasil mengumpulkan kenangan-kenangan kecil perjalanan hidup saya di SMA. Saat itu, itulah tropi saya.

Snippet sedikit isi "Kotak Kenangan" SMA saya. Kebanyakan isinya ID Card dan scarf kepanitiaan.

Kampus, yang benar-benar membuat saya jadi "orang". Banyak orang bilang kalau masa SMA paling berkesan. Buat saya, kampus yang jadi rumah abadi. Saya bener-bener belajar banyak dan mengalami perjalanan mental, mencoba cari tau, siapa sih saya yang sebenarnya? Apa yang saya mau? Kenapa saya hidup? Perjalanan yang sampai sekarang belum selesai, tapi seenggaknya jalannya sudah beraspal, ngga lagi di tanah liat penuh batu.

Snippet kekurangkerjaan saya ngumpulin foto-foto

Di kampus lah saya banyak diskusi sama orang. Belajar untuk bilang "tidak tau" dan menghindari jadi orang sok tau. Masih sok tau sih, sekarang pun, tapi udah nggak separah dulu. Di kampus juga saya banyak membangun hubungan dengan orang. Hubungan yang beneran. Bukan sekadar karena terikat tugas atau kelompok. Tapi karena saya ingin.

Sebagian besar dari sahabat baik saya, saya temukan di masa-masa ini.

Merekalah tropi saya sekarang. Bagaimana mereka sayang sama saya. Bagaimana saya sayang mereka. Bagaimana mereka menganggap saya sebagai manusia. Semua itu yang jadi tropi buat saya.

Semuanya. Saya kumpulkan rapi. Dalam memento-memento kecil yang, mungkin bagi banyak orang tidak berarti, tapi buat saya inilah tropi.
Dua dari banyaak ucapan ulang tahun yang saya simpan dengan penuh sayang

Foto. Surat. Kado. Catatan kecil.

Sedikit dari banyaak, catatan-catatan kecil yang saya simpan

Semuanya masih ada. Dan saya simpan baik-baik. Dalam bentuk fisik, supaya hati saya tidak lupa. Bahwa saya dicintai. Bahwa hidup saya berarti buat orang lain. Bahwa kadang, mensyukuri hal-hal kecil lah yang membuat hidup kita terus maju ke depan.

Snippet "Kotak Kenangan" ketiga saya

Buat saya, inilah tropi.